Artikel ini ditulis Oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Sekitar sepuluh bulan yang lalu masyarakat ramai menyoroti tambang ilegal yang merampok uang negara ratusan triliun rupiah, merusak lingkungan hidup, serta melakukan tindak pidana pencucian uang. Tambang ilegal ini diduga dilindungi oleh oknum aparat hukum dan pejabat pemerintah, melibatkan banyak pihak termasuk menerbitkan dokumen palsu agar hasil tambang ilegal seolah-olah menjadi legal.
Tambang ilegal yang menghasilkan uang kotor akan selalu melibatkan tindak pidana pencucian uang, untuk mencuci uang kotor menjadi bersih.
Pertama, penjualan hasil tambang ilegal menggunakan perusahaan yang sudah mempunyai izin penambangan (IUP/IUPK) dengan membayar fee. Kemudian sebagian besar uang dari penjualan hasil tambang ilegal tersebut mengalir ke perusahaan tambang ilegal (atau proxy-nya), dan kemudian ke para kontraktor tambang ilegal.
Uang yang diperoleh perusahaan tambang ilegal dan proxynya kemudian harus dicuci (TPPU) melalui bursa saham atau investasi-investasi lainnya agar menjadi legal.
Sekitar Februari 2023, tempo menurunkan laporan hasil investigasi mengenai tambang nikel ilegal PT Lawu Agung Mining (LAM) yang bekerja sama dengan perusahaan milik negara, PT Antam, dan perusahaan daerah Sultra, di areal konsesi PT Antam di Konawe Utara. Lihat: https://youtu.be/udQywj6cgks
Luas lahan penambangan PT Lawu Agung Mining ternyata jauh lebih besar dari perjanjian kerjasama operasi (KSO). Menurut laporan tempo, lebih dari 90 persen areal tambang nikel PT LAM tersebut berada di kawasan hutan, tanpa izin.
Artinya, kerjasama antara PT LAM dan PT Antam hanya sebagai kedok saja, tetapi tujuan sebenarnya patut diduga untuk menjarah nikel di kawasan hutan. Karena, luas lahan kerjasama dengan PT Antam tidak lebih dari 22 ha, tetapi realisasi areal tambang nikel PT LAM mencapai 985 ha selama periode 2019-2022.
Penjualan hasil tambang ilegal PT LAM masuk ke smelter Morosi dan Morowali dengan menggunakan dokumen palsu PT Kabaena Kromit Pratama (KKP), dengan imbalan komisi 5 dolar AS per ton. Tidak tertutup kemungkinan, hasil bijih nikel ilegal tersebut diselundupkan ke luar negeri. Karena kapasitas smelter jauh lebih kecil dari tambang bijih nikel.
Kejaksaan Agung Sulawesi Tenggara (Sultra) akhirnya melakukan penyelidikan dan menetapkan 4 tersangka, yaitu Hendra alias HW selaku General Manajer PT Antam UBPN (Unit Bisnis Pengembangan Nikel) Konawe Utara, Andi Adriansyah (AA) selaku Dirut PT KKP, Glen (GL) sebagai Pelaksana Lapangan PT LAM, dan Ofan Sofwan (OSN) selaku Dirut PT LAM. Terakhir, Windu Ajie Sutanto, selaku Komisaris dan sekaligus pemilik saham mayoritas PT LAM, juga ditetapkan sebagai tersangka penambangan nikel ilegal tersebut.
Kasus penambangan nikel ilegal ini melibatkan banyak pihak. Setidak-tidaknya ada 11 perusahaan kontraktor tambang yang terlibat penambangan ilegal tersebut. Mereka semua harus bertanggung jawab, termasuk juga oknum penegak hukum dan pejabat pemerintah yang melindungi penambangan nikel ilegal ini sehingga dapat berlangsung sangat lama.
Dan yang terpenting dan terutama, Kejaksaan Agung wajib membongkar aktor utama penambangan nikel ilegal PT LAM ini. Apakah ada pejabat tinggi PT Antam, selain GM UBPN Konut, yang juga ikut terlibat? Apakah ada petinggi di Kementerian BUMN atau Kementerian ESDM ikut terlibat, atau bahkan di Kementerian Koordinator Maritim dan investasi yang membawahi KESDM?
Kejaksaan Agung juga wajib membongkar tuntas, siapa penerima manfaat akhir dari tambang nikel ilegal PT LAM ini?
Apakah Windu Ajie Sutanto bermain sendiri, atau ada pihak lain yang dikenal dengan PEP: Politically Exposed Person?
Penetapan 5 tersangka baru sebatas titik awal, masih jauh dari penyelesaian tuntas kasus perampokan uang negara dan pencucian uang yang merusak lingkungan hidup dan kawasan hutan, di mana PT LAM diduga berperan sebagai otak utama dari kejahatan ini.
Masyarakat, khususnya masyarakat Konawe Utara yang mengalami kerusakan lingkungan berat, diharap terus mengawasi kasus ini sampai tuntas.
Jangan sampai kasus ini berakhir seperti kasus Ismail Bolong yang tidak ada kelanjutannya.
[***]