Artikel ini ditulis oleh Muslim Arbi, Direktur Gerakan Perubahan dan Koordinator Indonesia Bersatu.
Jika hari ini publik menyaksikan Kejagung dan KPK hanya memproses kader-kader Nasdem yang duduk di kabinet, tak dapat di pungkiri, dua insitusi hukum ini telah menjadi alat politik kekuasaan.
Semenjak Anies Rasyid Baswedan dideklarasikan sebagai Capres oleh Partai Nasdem dan Demokrat, sejak itulah dua partai itu terus diganggu oleh politik kekuasaan.
Demokrat di anggu dengan kasus Gugatan Moeldoko PK ke MA dan Nasdem dikerjai dengan mentri-mentri Nasdem di Kabinet satu per satu diincar oleh Kejaksaan dan KPK.
Sekjen Nasdem, Johny G Plate Mentri Infokom ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan Agung. Saat ini melalui tangan KPK, kader Nasdem di Kementrian Pertanian, Yasin Limpo akan ditetapkan sebagai tersangka. Sedangkan nama-nama yang tersangkut dengan kekuasaan tidak disentuh. Diantaranya, nama suami Puan dan beberapa nama di lingkungan kekuasaan yang disebut di kasus BTS 4G, tidak tersentuh.
Membandingkan penangan kasus lindungi kawan politik dan hancurkan lawan politik ini seperti dalam kasus penangan e-KTP. Hanya Setya Novanto, Ketua Golkar dan Ketua DPR yang saat itu ditangkap, diadili dan ditahan. Sedangkan sejumlah nama kader PDIP seperti, Ganjar Pranowo, Puan Maharani, Pramono Anung, Olly Dodo Kambey tidak diproses hukum seperti Setnov. Padahal nama-nama mereka dibacakan di depan sidang saat itu.
Ini menjadi tanda tanya besar. Kenapa dalam penegakkan hukum bersifat diskriminasi?
Tentunya publik membaca. Tekanan-tekanan yang dilancarkan oleh politik kekuasaan terhadap dua partai pengusung Anies Baswedan itu, agar kedua partai itu menggugurkan pencapresan Anies sehingga Anies gagal ditetapkan sebagai Capres definitif jelang pilpres 2024.
Kalau Kejaksaan Agung dan KPK bertindak benar dalam pengusutan kasus-kasus korupsi dan kerugian negara, kenapa kasus-kasus yang bernilai lebih dari kasus Johny G Plate dan dugaan terhadap Yassin Limpo tidak diusut dan dibidik oleh KPK dan Kejagung?
Kasus kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) menghabiskan anggaran Rp120 triliun, bahkan APBN mau dijadikan jaminan oleh RRC, tidak disentuh oleh KPK dan Kejagung.
Kasus Food Estate. Menimbulkan kerugian triliunan dan penggundulan hutan ribuan hektar, yang dapat menimbulkan bencana alam pemanasan global, banjir dan tanah longsor yang libatkan sejumlah menteri di Kabinet, tidak diusut oleh lembaga yang dipimpin Firli dan ST Burhanuddin itu.
Juga kerugian negara di kasus Mandalika, Rp4,6 triliun dan Rp100 miliar tidak diusut. Demikian juga pembangunan infrastruktur tol yang dibangun mahal dan dijual murah, yang akibatkan kerugian puluhan sehingga ratusan triliunan, tidak juga diusut dan pelakunya ditangkap dan ditahan sebagaimana kader-kader Nasdem.
Pantas dan wajar publik apresiasi pernyataan berani dari Ketum Nasdem, Surya Paloh akan membela Anies Baswedan sebagai Capres sampai titik darah penghabisan.
Di sini publik menilai. Demikian takutkah kekuasaan saat ini, sehingga dengan berbagai cara digunakan agar Anies gagal capres?
Dari semua trik-trik kekuasaan hari ini, yang mengganggu pencapresan Anies Baswedan, dengan motif pemberantasan korupsi dan penyelematan keuangan negara akan dicibir oleh publik.
Ah, itu akan menjadi alat tekan politik saja. Agar Nasdem jera dan gugurkan pencapresan Anies sehingga kader-kader Nasdem di Kabinet terus di”obok-obok” dengan dalih korupsi dan sebagai nya.
Publik akan tertawa sinis, bahkan marah dan muak saat melihat insitusi hukum yang mau jadi alat kekuasaan seperti itu.
Depok, 15 Juni 2023
[***]