Artikel ini ditulis oleh Agustinus Edy Kristianto, Pemerhati Ekonomi, Sosial dan Politik.
G20 itu apa? Untungnya buat kita apa? Kenapa yang protes pada dibungkam? Anggaran Rp674 miliar buat penyelenggaraannya yang berasal dari APBN, apa timbal baliknya buat 275 juta rakyat Indonesia? Apakah yang miskin punya harapan buat sejahtera di masa depan lewat G20?
Saya sepakat G20 strategis. Ia mewakili 60 persen populasi bumi dan 80 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Karena seksi itulah, pemerintah kelihatan bersolek betul dan sosok Presiden Jokowi dielu-elukan di berbagai media.
Mungkin Jokowi menyimpan hasrat manggung di politik internasional setelah lengser. Mungkin dia mau terlihat hebat di mata internasional sehingga menguatkan posisinya sebagai King Maker Indonesia.
Siapa tahu!
Tapi, seperti biasa, kita tak boleh larut hanya pada apa yang tampak di berita. Kita mau lihat permainan dan duit-duitnya. Saya pikir, sestrategis apapun forumnya, selama secara mental dan perilaku penyelenggara negara masih korup dan jongkok, tidak akan ada artinya.
Pikiran saya, inti G20 kali ini adalah politik energi masa depan dunia. Terbukti, negara-negara kaya akan menyapih Indonesia untuk melakukan transisi ke energi bersih (nonfosil dan batubara) dengan rencana menggelontorkan dana US$20 miliar (Rp300 triliun, kurs Rp15 ribu). US$10 miliar buat sektor publik dan US$10 miliar swasta.
Indonesia ditargetkan bebas karbon pada 2050 alias lebih cepat satu dekade dari rencana sebelumnya. Indonesia adalah tempat 1/3 hutan hujan dunia dan ketergantungannya terhadap energi kotor dinilai sangat tinggi.
Itu duit gurih banget. Tentu saja negara kaya bukanlah sinterklas yang akan lempar duit itu dari atas helikopter buat kita semua. Pembiayaan itu berupa hibah, pinjaman, jaminan pemerintah, atau investasi swasta.
Kelihatannya porsi terbesar adalah sebagai utang yang harus kita bayarkan di kemudian hari. Pakai APBN!
Anda perlu amati paradoksnya. Bagaimana transisi energi itu terjadi sementara sejumlah pejabat dan pengusaha yang terafiliasi dengan pejabat yang membuat kesepakatan juga merupakan pengusaha batubara?
Menko Maritim dan Investasi yang juga panitia G20 adalah salah satu pemilik perusahaan batubara TBS Energi Utama (TOBA). Kakak Menteri BUMN adalah pemilik perusahaan batubara juga (ADRO). Dan banyak lagi pejabat dan kroninya yang main tambang.
Oleh sebab itu wajar jika ada yang menuding transisi energi tersebut bermuka dua. Jangan-jangan nanti hanya bertujuan memberikan “label hijau” buat batubara dan energi fosil.
Teknologi untuk itu sudah ada dan pemerintah beberapa waktu lalu telah menjalin kesepakatan dengan satu perusahaan Amerika Serikat yang bergerak di bidang tersebut. Pabriknya sudah berdiri di Kawasan Jababeka.
Kita lihat saja nanti sejauh mana jargon transisi energi itu diwujudkan. Paling ujung-ujungnya adalah masalah negosiasi kontrak dan bagi-bagi jatah uang dari utang tersebut.
Karena jargonnya adalah energi bersih maka konsekuensinya adalah latah “kendaraan listrik”.
Harusnya sejak dulu kita sudah bisa membaca mengapa seorang Kepala Staf Kepresidenan yang masih aktif bisa membentuk perusahaan kendaraan listrik. Kemudian, perusahaan yang dimiliki salah satunya oleh Menko Marives, TBS Energi Utama (TOBA) patungan dengan GOTO membentuk Electrum, yang berbisnis kendaraan listrik.
Akhirnya terang, lewat momen G20, terciptalah kesepakatan antara Electrum dan BUMN Pertamina untuk mengembangkan bisnis kendaraan listrik.
Dari dulu saya sudah wanti-wanti potensi konflik kepentingan penyelenggara negara di situ. GOTO, kita tahu salah satu pemiliknya adalah kakak Menteri BUMN, sudah dapat Rp6,4 triliun dari Telkomsel dan sahamnya ambrol saat ini. Sekarang ‘dibantu’ lagi oleh Pertamina.
Kesepakatan bisnis G20 lainnya yang saya catat adalah antara Lembaga Pengelola Investasi (LPI) dan dua perusahaan China, CATL (Contemporary Amperex Technology Co. Limited) dan CMB International. CATL dikendalikan oleh Yu Qun Cheng, Zhen Hua Pei, dan China Merchants Bank Co. Ltd. Sementara CMB International adalah lembaga manajemen aset dan keuangan.
Kesepakatannya adalah menyiapkan dana US$2 miliar (Rp30 triliun kurs Rp15 ribu) untuk bisnis kendaraan listrik. Mudah diterka, LPI kemungkinan akan kucurkan duit ke situ. LPI banyak duit: setahun ada Rp75 triliun yang terdiri dari Rp30 triliun APBN dan sisanya Rp45 triliun dari pengalihan saham pemerintah. Sebelumnya mereka sudah suntik Mitratel Rp3 triliun.
Yang juga kejatuhan berkah G20 adalah Adaro Minerals Indonesia (ADMR), lagi-lagi anak perusahaan ADRO yang dimiliki kakak Menteri BUMN. Dia dapat bisnis dari Hyundai Motor Company untuk memasok 50-100 ribu ton alumunium per tahun. Advertorial beritanya bisa Anda baca di Tempo online.
Berikutnya adalah Bakrie & Brothers (BNBR) bersama Envision Group akan membangun kawasan industri nol emisi di Sulawesi Tengah. Sebaiknya kita ingatkan juga Bakrie bayar utang Rp773,8 miliar dengan bunga 4 persen ke negara yang dulu dipakai talangi pembayaran korban Lapindo.
Selanjutnya anak usaha Barito Pacific (BRPT), Star Energy Geothermal, yang menandatangani kesepakatan dengan PLN untuk membangun stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). 70,85 persen BRPT kepunyaan Prajogo Pangestu.
Jadi, kira-kira begitulah gambaran yang dapat untung dari G20. Kita semua paling menjadi sasaran konsumen kendaraan listrik.
Halo para pemimpin dunia, begitulah keadaan Indonesia yang sebenarnya!
[***]