Artikel ini ditulis oleh Tulus Sugiharto, Pemerhati Sosial.
Bung Rizal Ramli (RR), 23 Maret 2023 lalu nge-Tweet, kira-kira begini isinya, “ada jagoan spin yang membela skandal keuangan terbesar dalam sejarah Indonesia tanpa mengerti soal financial dan frauds”. Yang menarik dari tweet bung RR, bukan hanya sekedar skandalnya, tapi apa spin itu?
Jadi teringat cerita Ronald Reagan, mantan Presiden Amerika Serikat (AS) tahun 1980-1988).
Saat menjadi perwira militer di era perang dunia ke II, tentu Ronald Reagan ingin menjadi bagian angkatan bersenjata AS berperang ke Eropa dan Asia.
Tapi Mayor Ronald Reagan, tidak bisa pergi ke medan perang karena memiliki penyakit rabun jauh, sehingga akhirnya ia “hanya“ ditempat-kan sebagai pengisi suara untuk pelatihan militer selama perang dunia II berlangsung.
Reagan memulai kariernya sebagai seorang penyiar radio dan kemudian menjadi aktor. Reagan suka pada politik dan ia dikenal sebagai aktor yang anti pada gerakan komunisme.
Coba deh lihat film judulnya Trumbo (2015) bagaimana industri film Amerika diduga disusupi komunisme sesudah PD II dan masuk ke era perang dingin.
Memang dulu Reagan hanya dikenal sebagai aktor kelas dua, tapi dia memiliki insting politik yang tinggi, penampilannya yang menarik di layar TV dan film dan dia dekat dengan media, orang-orang public relations banyak anti komunis.
Di pemilu 1980 itulah kemudian Reagan melawan incumbent Jimmy Carter yang sebenarnya memiliki prestasi baik didalam negeri. Hanya saja, kasus penyanderaan di Iran selama 444 hari yang menyebabkannya tercoreng.
Untuk mengalahkan Carter, Reagan bukan hanya sekedar mengandalkan kegantengan dan suara untuk mengalahkan Carter, tapi Reagan secara canggih melibatkan spin doctor, yaitu kelompok orang yang ahli dalam public relations, politisi, media bahkan akademisi.
Memang hal ini baru diungkap oleh New York Times tahun 1984, saat Reagan menjadi kandidat Presiden untuk kedua kalinya melawan Walter Mondale.
Dalam perspektif public relations, ditulis oleh Delanur, di Kompasiana 2016, dalam khazanah keilmuan ini, segala bentuk manipulasi dan rekayasa informasi atau upaya membohongi publik disebut dengan teknik Spin. Adapun pelakunya disebut Spin Doctor.
Dan itu tadi, pada tahun 1984, reporter di lapangan dan juga redaksi sudah mulai dimasuki oleh para Spin Doctor itu. Jadi Spin Doctor itu bisa saja para pendukung seorang kandidat presiden dan bahkah ikut setelah orang yang didugkungnya menjadi pejabat.
Efektifkah Spin Doctor? keliatannya efektif jika kita melihat kasus Iran Contra yang melibatkan Letkol Oliver North.
Saat itu pemerintah Amerika diduga menjual senjata pada Iran dalam perangnya melawan Irak, padahal Iran dikenal sebagai musuh AS.
Selain itu Amerika juga membantu gerilyawan Contra dalam konflik di Nikaragua. Reagan bertahan meski soandal Iran Contra ini mendapat publikasi yang luas.
Tapi kita ngomong hari ini, saat masuk era media baru yang berbasis pada internet. Masih efektifkah Spin Doctor itu? Sekarang, publik apalagi Gen X dan Z di era digital mulai kritis, tidak percaya begitu saja, mampu untuk mencari informasi dari berbagai sumber. Biasa berpikir kritis mereka akan memulai dengan question?
Nah, Bung RR, Gen X dan Z memulai dengan question. Bung RR sebagai pemikir bangsa yang out of the box mencoba membantu mereka menjawab pertanyaan Gen X dan Z sehingga lebih kritis.
Hari ini mungkin Spin Doctor tetap saja laku dan digunakan oleh tokoh-tokoh yang mau jadi pemimpin. Tapi kalau penonton, pembaca dan pendengar semangkin kritis di era media baru ini, maka kebenaran akan cepat terungkap.
Setahu saya, Bung RR ini sepakat dengan kata-kata Bung Karno. Bung Karno pernah bilang: “Saya ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Saya besar karena rakyat, berjuang karena rakyat, dan saya penyambung lidah rakyat”.
Bung RR sama dengan Bung Karno, mendengar suara rakyat bukan kata kata si Spin Doctor. Ayo bung RR, keep tweet, berikan salam goodbye bagi si pengguna (teknik spin) dan para pelakunya … si (Spin Doctor).
[***]