Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman, Pemerhati Sosial Kebangsaan.
Dekade-dekade mendatang dalam abad ini (abad 21) adalah dekade geopolitik. Seperti menjadi perulangan sejarah abad 20 yang lalu, abad ini dalam dekade-dekade mendatang akan diwarnai ketegangan geopolitik. Kedaulatan pangan akan menjadi kebutuhan sangat penting bagi setiap bangsa dalam melewati ketengan-ketegangan itu.
Awal abad 20 yang lalu, dunia dihadapkan dengan wabah flu sepanyol. Disusul Perang dunia I dan kemudian Perang Dunia II. Abad ini (memasuki dekade ketiga) diawali dengan pandemi korona yang diiringi ketegangan (peperangan) Rusia dan Ukraina. Perang Rusia vs Ukraina belum ada tanda-tanda berakhir setelah berjalan beberapa bulan.
Walaupun terlihat sebagai peperangan dua negara saja, sejatinya merupakan cerminan peperangan lebih luas. Khususnya imbas ekonomi terhadap negara-negara Eropa dan AS. Tidak mustahil akan memicu konflik bersenjata lebih luas. Para ekonomi sudah memberi warning, tahun 2023 dunia dihadapkan pada resesi ekonomi. Potensi ketegangan juga terjadi di Laut Cina Selatan. Juga antara India dan Cina.
Indonesia harus menyiapkan diri dalam menghadapi dekade-dekade geopolitik itu di masa mendatang. Salah satunya adalah memastikan kedaulatan pangan tetap terjaga dalam melewati apapun situasi di masa mendatang.
Indonesia dihadapkan realita lahan pertanian menyusut (khususnya di Jawa) dan kader-kader petani yang semakin berkurang. Karena tergiur pekerjaan lain. Menghadapinya diperlukan terobosan agar kedaulatan pangan bangsa ini tidak bermasalah pada masa-masa mendatang. Khususnya dalam menghadapi kemungkinan masa-masa sulit itu.
Menyusutnya lahan pertanian di lahan-lahan tradisional harus diimbangi dengan pembukaan lahan-lahan baru di lokasi potensial. Khususnya di luar Jawa. Alternatif paling rasional adalah dengan membuka lahan-lahan transmigrasi. Khususnya di daerah-daerah yang memerlukan tenaga-tenaga penggerak kemajuan di daerah itu.
Krisis kader-kader petani juga bisa dilakukan dengan mencetak kader-kader petani baru. Salah satu segmen potensial adalah para santri pesantren salaf untuk di didik menjadi kader-kader petani itu.
Produk sekolah-sekolah nasional, pesantren modern, akademi dan universitas konvensinal, biasanya enggan memasuki dunia pertanian, kecuali sebagian kecil orang saja. Dunia pertanian adalah dunia becek dan kotor. Tidak wangi. Mereka memilih kerja di sektor perkantoran, jasa dan industri. Kerja di institusi yang sudah mapan.
Pesantren-pesantren salaf menempa para santrinya untuk memahami konsepsi pembangunan peradaban berdasarkan khasanah keilmuan Islam. Mereka di didik memahami khasanah-khasanah keilmuan Islam klasik. Selama Pendidikan juga ditempa untuk tahan menghadapi berbagai kesulitan. Termasuk hidup sederhana selama studi. Terbiasa tirakat.
Jebolan pesantren salaf ini bisa ditransformasikan sebagai kader-kader petani penjaga kedaulatan pangan. Mereka diberi pelatihan-pelatihan singkat di balai-balai pertanian kementerian pertanian. Biasanya memakaan waktu beberapa bulan saja.
Balai-balai itu memiliki pengalaman dalam mendidik kader-kader petani dari dunia ketiga (Asia-Afrika) di era Orde Baru yang lalu. Tentu mudah saja jika kini mendidik para santri itu menguasai secara cepat teknik-teknik bertani semi modern.
Kepada para santri lulusan pelatihan itulah kemudian diberi kesempatan menjadi transmigran. Menjadi petani-petani baru di daerah transmigran.
Mereka akan menjadi penggerak bagi kemajuan daerah barunya melalui khasanah keilmuan yang dimilikinya. Mereka juga akan menjadi kader-kader pejuang kedaulatan pangan oleh karena tempaan hidup berat selama belajar di pesantren. Namun kini ia dilengkapi dengan wawasan dan ketrampilan bertani melalui pelatihan yang diberikan.
Tenaga-tenaga muda, memiliki wawasan pembangunan beradaban, namun juga memiliki kecakapan teknis dalam bertani.
Harus ada yang mengkoordinir upaya ini.
ARS, Bangka-Jaksel, 08-11-2022
[***]