KedaiPena.Com – Nurani 98 mengaku sangat kecewa pada keputusan pemerintah dan KPK yang dengan dasar hasil TWK tetap tidak meloloskan sebagian besar staf KPK. Mereka yang tergabung dengan Nurani 98, antara lain Ray Rangkuti, Ubedilah Badrun, Ahmad Wakil Kamal Omen Abdurahman dan Henri Basel dan lain-lainya.
Sebanyak 51 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal diberhentikan karena tidak lolos dalam tes wawasan kebangsaan (TWK). Sementara 24 pegawai akan mendapat pendidikan wawasan kebangsaan agar bisa menjadi aparatur sipil negara (ASN) dan masih ada potensi diberhentikan apabila tidak lolos.
“Padahal sebelumnya Presiden menyatakan TWK hendaknya tidak menjadi dasar pemberhentian,” kata Perwakilan Nurani 98 Ubedillah Badrun dalam keterangan tertulis, Kamis, (27/5/2021).
Yang membuat lebih kecewa lagi, kata Ubed sapaanya, karena TWK mulai mengarah kepada politik penyingkiran orang-orang bersih dan berdedikasi, khususnya di dalam pemberantasan korupsi.
“Tidak sulit mengira bahwa model seperti ini akan menjadi model seleksi yang pada akhirnya hanya akan menyingkirkan mereka yang tidak tunduk pada kekuasaan,” papar Ubed.
Nurani 98 pun meminta, presiden Jokowi untuk mengevaluasi model TWK yang diberlakukan. Karena, TWK yang digunakan tidak seperti standar tes untuk ASN pada umumnya.
“Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam TWK staf KPK terlihat hanya menyasar satu keyakinan keagamaan tertentu. Sekaligus berpotensi melecehkan kaum perempuan dan keyakinan aliran keagamaan tertentu. TWK seperti ini justru berpotensi memecah belah bangsa, bukan menyatukannya,” kata Ubed.
Ia juga mengatakan, materi TWK yang sempit, yang hanya berputar pada masalah keyakinan aliran keagamaan seseorang, hanya menyempitkan wawasan kebangsaan bangsa.
“Padahal, wawasan kebangsaan sejatinya juga berhubungan dengan cara pandang pada pemberantasan korupsi, kemandirian bangsa, identitas nasional, pemenuhan janji politik, ketaatan atas hukum, menjaga etika Bangsa dan demokrasi. Inilah salah satu poin dan subtansi kritik luas masyarakat atas TWK yang malah diabaikan oleh pemerintah,” beber Ubed.
Nurani 98 juga sangat menyayankan, pelabelan “merah” dan “tidak dapat dibina” jelas sangat melukai korbannya. Cap ini akan melekat terhadap mereka sepanjang hidupnya.
‘Setelah puluhan tahun mereka mengabdikan diri pada bangsa dengan menjerat para koruptor ke penjara, balasan pemerintah atas mereka malah label “merah” dan “tidak dapat dibina.” Tak terperikan beban yang akan mereka tanggung kelak,” tutur Ubed.
“Sementara para koruptor dan mantan para koruptor tetap bebas untuk melanjutkan karir mereka di jabatan manapun, para pendekar korupsi ini malah punya potensi karir dan masa depannya akan terpenjara seumur hidup,” tambah Ubed.
Oleh sebab itu, NURANI ’98 melihat ini tidak sejalan dengan makna ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ (sila ke 5 Pancasila).
“Berdasarkan hal itu, NURANI ’98 menuntut presiden demi kemanusiaan yang adil dan beradab untuk membatalkan keputusan tersebut. Pidato presiden sebelumnya sudah dengan tegas dan jelas menyebut bahwa hasil TWK tidak dapat dijadikan sebagai patokan kelolosan staf KPK menjadi ASN,” tegas Ubed.
Terlebih lagi, kata Ubed, presiden juga mengutip keputusan MK tentang pegawai KPK yang tidak boleh dirugikan oleh revisi UU KPK.
“Tak ada tafsir apapun atas hal itu kecuali presiden menyatakan bahwa TWK yang sebelumnya dianggap tidak ada. Dan karenanya seluruh staf KPK menjadi ASN kecuali yang menyatakan diri berhenti atau mundur,” papar Ubed.
Jika presiden tidak melakukan apapun atas hal ini, NURANI ’98 memandang pidato presiden hanyalah prank belaka. Semata hanya meredam kritik publik.
“Bukan mendengarnya. Tentu saja, mengelola negara dengan cara-cara prank jauh dari wawasan kebangsaan yang benar. Pun juga begitu, para bawahan presiden yang memperlihatkan ketidakpatuhan atas perintah presiden memperlihatkan adanya masalah wawasan kebangsaan di dalamnya,” ujar Ubed.
Nurani 98 mendesak, Menpan RB dan BKN layak ditegur bahkan diberi sanksi. Pembantu presiden yang mengabaikan perintah presiden tentu layak dipertanyakan wawasan kebangsaannya.
“Ini, tentu saja, jika presiden tidak setuju pdaa keputusan BKN. Tapi jika presiden tetap diam, berarti membenarkan kesimpulan bahwa Presiden lakukan prank!. Dalam bahasa lain Presiden melakukan dramaturgi saja. Jangan salahkan kami jika pada titik ini kami bosan dengan dramaturgimu Presiden,” tandas Ubed.
Laporan: Sulistyawan