KedaiPena.Com – Aksi pemecatan mahasiswa alias drop out (DO) oleh rektor di sejumlah perguruan tinggi mendapat sorotan dari anggota DPR RI Willya Aditya.
Menurut Willy, sangat ironi jika di masa penuh kebebasan saat ini, masih ada aksi pemberhentian terhadap mahasiswa oleh petinggi kampus karena alasan semacam itu.
“Mahasiswa melakukan aksi demonstrasi itu hal yang sangat biasa. Rektor di demo oleh mahasiswanya itu biasa. Wong presiden saja di demo, DPR di demo, apalagi cuma seorang rektor,” ungkapnya ditulis, Jumat, (26/2/2021).
Willy yang juga aktivis ’98 ini menambahkan, adanya demonstrasi di lingkungan kampus mestinya disyukuri.
Di saat iklim perguruan tinggi lebih banyak berkutat pada rutinitas perkuliahan dan sejenisnya, adanya aksi demonstrasi menunjukkan adanya dinamika kampus.
Menurutnya, aksi demonstrasi adalah bagian dari kebebasan akademik sivitas akademika kampus.
Dari pada mahasiswanya hanya kuliah, mengisi absen, mengerjakan tugas, atau sekadar bayar uang kuliah saja, lebih bagus jika mereka mewarnai kehidupan kampus dengan demonstrasi.
“Aksi demonstrasi itu menunjukkan adanya kesadaran seorang mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika. Ia juga menunjukkan tanggung jawab moral sebagai orang yang berpendidikan atas dinamika sosial yang terjadi,” papar Willy.
Willy menerangkan, di dalam demonstrasi kan ada gugatan sekaligus dalih yang harusnya bisa diterima dan dijawab oleh pimpinan kampus dengan sikap ilmiah sekaligus dewasa sebagai insan berpendidikan.
“Jangan malah men-DO mahasiswanya. Demonstrasi itu justru salah satu ekspresi dari pendidikan itu sendiri,” kata Willy yang juga pernah di-DO semasa kuliahnya di UGM Yogyakarta.
Bagi Willy, kalau hanya karena demonstrasi seorang mahasiswa di-DO, alangkah tidak patutnya dia menjadi seorang rektor. Sebab rektor bukanlah penguasa.
Ia adalah pemimpin kampus yang sepatutnya mampu menyelami segala dinamika yang terjadi di kampus sebagai insan yang berilmu pengetahuan.
“Bukan malah berlaku sewenang-wenang,” imbuh Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem di DPR ini.
Dia mempertanyakan alasan dua rektorat di kampus di Riau dan Lampung saat memberhentikan dan menggugat mahasiswanya.
Willy menegaskan, seorang rektor terhadap mahasiswanya itu seperti seorang bapak terhadap anaknya. Bukan seperti pemimpin perusahaan atau organisasi terhadap anak buah atau anggotanya.
Willy juga menegaskan, pimpinan kampus haruslah memiliki keluasan jiwa untuk menerima dan kearifan pengetahuan untuk bisa memberikan penjelasan kepada anak-anaknya atas suatu persoalan tertentu.
Bukan malah mempolisikan anaknya karena kenakalannya. Senakal apapun seorang anak, orang tua hanya patut menghukumnya, dan itupun tetap dalam kerangka pendidikan baginya.
“Kan gitu logikanya? Apalagi di lembaga pendidikan seperti di kampus,” tandasnya.
“Katakan saja benar beberapa mahasiswa melanggar kekarantinaan seperti yang terjadi UBL Lampung. Apakah patut dia dilaporkan oleh rektoratnya ke polisi? Saya kira itu berlebihan dan amat sangat disayangkan,” imbuhnya.
Willy yang juga Ketua DPW Partai Partai NasDem Riau ini mengatakan, DO boleh dilakukan oleh pihak kampus jika seorang mahasiswa memang tidak memenuhi kewajiban akademiknya.
“Semata karena itu saja. Itupun masih bisa ditolelir atas kebijakan pimpinan kampus. Namun jika mahasiswa di-DO karena aksi demonstrasinya maka kampus itu telah berlaku picik,” tutur Willy.
Dia berharap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan merespon kejadian di Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, Riau dan Universitas Bandar Lampung, Lampung yang belum lama ini terjadi. Dia juga meminta para koleganya di Komisi X DPR untuk menginisiasi adanya rapat kerja dengan Mendikbud terkait hal ini.
“Hal semacam ini jangan dianggap sepele lho. Ini terkait kehidupan asasi di dalam lembaga pendidikan tinggi. Di lembaga yang bertugas menjaga kewarasan nalar kehidupan bangsa ini. Kalau di lembaga pendidikan tinggi saja nalar sehatnya sudah terbuang, dan justru cara kekuasaan yang bekerja, bagaimana di lembaga yang lain,”pungkasnya.
Laporan: Muhammad Hafidh