TNI AD berduka. Sebuah meriam pertahanan udara kaliber 23 mm tipe Giant Bow (merujuk pernyataan resmi TNI, belum jelas apakah itu tipe Giant Bow I atau II) mendadak tak terkendali, menembak ke berbagai arah karena penahan laras tak berfungsi. Akibatnya, empat personil meninggal dunia, delapan lainnya luka tembak.
Penulis mencatat sejumlah hal yang perlu dikritisi setelah insiden memilukan tersebut. Misalnya, kejelasan mengenai tipe meriam sangatlah penting. Tercatat sejumlah media, mengutip berbagai sumber menyodorkan informasi bahwa meriam itu adalah hasil pengadaan sekitar tahun 2007.
Tapi itu adalah Giant Bow II. Padahal pengadaan Giant Bow II itu diproyeksikan sebagai ‘up-grade’ dari sistem Giant Bow I yang telah digunakan sebelumnya (jika tidak salah, sejak awal 2000an). Jadi tentu saja akurasi tipe penting untuk memastikan kapan senjata itu mulai digunakan, termasuk plus-minus dan catatan kecelakaan terkait senjata ini.
Selain itu, banyak media lalu mengarahkan pemberitaan pasca insiden Natuna, pada proses pengadaan meriam buatan pabrikan Norinco asal Cina ini. Tak bisa disalahkan. Potensi carut-marut pengadaan barang di negara kita ini memang besar, jadi isu ini selalu dianggap ‘sexy’. Padahal, malpraktik pengadaan barang tak selalu beriringan dengan malfungsi.
Insiden di Natuna berkenaan dengan malfungsi. Untuk menautkannya dengan potensi malpraktik pengadaan, tentu butuh investigasi mendalam. Tak cukup hanya dengan komentar-komentar dangkal untuk memastikan apakah misalnya proses pengadaan yang buruk, seperti ‘mark up’ harga dan ‘down grade’ kualitas ternyata benar-benar memengaruhi kelaikan operasional.
Mark up memang menimbulkan kerugian pada sisi pembiayaan, dan down grade menimbulkan kerugian dari sisi manfaat. Namun itu belum tentu membuatnya berpotensi malfungsi. Bisa saja meriam itu tetap dapat digunakan sebagai senjata anti serangan udara ringan yang efektif. Walaupun bagi yang paham, perangkat itu mungkin dinilai ‘kemahalan’ atau jadi kurang mumpuni dari semestinya.
Padahal, senjata secanggih apapun, membutuhkan pemeliharaan maksimal agar dapat berfungsi secara optimal. Meriam kaliber 23/Giant Bow ini harus dilihat sebagai satu kesatuan sistem senjata anti serangan udara.
Sebagai sistem senjata (sista) dia terdiri dari sebuah meriam dua laras, sistem radar, dan perangkat pengendali tembakan (berupa kendaraan) yang harus tersinkronisasi dan sama-sama bekerja dengan baik. Karena meriam ini dapat digunakan untuk melakukan penembakan secara otomatis, semi otomatis maupun manual.
Tentu diperlukan investigasi yang serius untuk menyelidiki penyebab sista ini tak berfungsi normal saat itu. Menyangkut, diantaranya apa penyebab terjadinya problem mekanis, apakah ada kegagalan pada sistem pengendali tembakan atau ada penyebab lain (kelalaian, sabotase misalnya).
Sekarang, coba kita abaikan terlebih dahulu soal carut-marut pengadaan, kelalaian dan sabotase (menduganya demikian itu cenderung sensasional namun juga simplifikasi). Mari kita fokus pada malfungsi. Ada problem mekanis, dan mungkin juga kegagalan sistem kendali.
Kita berangkat dari fakta bahwa pengadaan sista ini telah melalui uji kelaikan dan kemudian dioperasikan oleh personil yang kompeten. Sekarang kita bergeser ke tata kelolanya. Kita bicara soal perawatan dan pemeliharaan.
Perawatan berkaitan dengan kesiapan alat untuk tampil dan digunakan sewaktu-waktu. Setidaknya ada dua aspek perawatan yaitu aspek fisik mekanik dan sistem elektronik.
Pemeliharaan berkaitan dengan kemampuan alat untuk berfungsi optimal dan efektif dalam pengoperasiannya. Terdapat dua aspek juga, yaitu pemeliharaan rutin dan kalibrasi berkala.
Pemeliharaan rutin kemampuan tentunya dilakukan dengan latihan menggunakan alat itu mulai dari satuan terkecil hingga latihan-latihan militer gabungan untuk memastikan alat selalu siap tempur dan kompetensi personil pengguna tetap terjaga.
Sedangkan kalibrasi berkala dilakukan untuk memastikan perangkat-perangkat selalu dalam kondisi laik, dan segera dapat dilakukan reparasi jika ada indikasi gangguan yang berpotensi mengganggu atau untuk mengoptimasi kinerja sista.
Oleh karena itu, jika kita benar-benar ingin memastikan penyebab kecelakaan kemarin, sebaiknya kita lebih dulu memastikan apakah pemeliharaan dan perawatan sudah dilakukan dengan semestinya? Memadaikah alokasi anggaran yang tersedia untuk pemeliharaan? Lalu bagaimana realisasinya terkait perawatan rutin, kalibrasi dan latihan, sudahkah berjalan baik?
Itu dulu yang harus dikaji. Sebelum kita membahas hal-hal seperti praktik buruk pengadaan alutsista atau soal stigma terhadap negara produsen.
Sebenarnya, upaya modernisasi alutsista kita hingga saat ini faktanya memang masih menyisakan persoalan prioritas, spesifikasi, standarisasi dan sinkronisasi. Hal itu sangat berdampak pada efektifitas dan efisiensi.
Juga masih ada kelemahan-kelemahan dalam hal pemeliharaan dan perawatan terutama menyangkut alokasi dan realisasi anggarannya. Dan itu berdampak pada makin besarnya peluang malfungsi dan kecelakaan terjadi.
Di sisi lain, kondisi damai memang bisa berdampak buruk. Bagi para pimpinan militer, peralatan dan personil yang ‘menganggur’ itu menyedihkan. Potensi pelanggaran disiplin hingga tindak kejahatan selalu ada. Bentuknya bisa beragam, mulai desersi, perkelahian sampai makar, mulai korupsi kecil-kecilan sampai persekongkolan bisnis dan politik.
Bisa dibayangkan, tidak mudah memelihara kemampuan dan moril prajurit dalam situasi ancaman yang tidak nyata dan bahkan cenderung bersifat nirmiliter. Tidak mudah menjaga untuk tidak berbenturan dengan hukum, hak asasi manusia dan demokrasi.
Para pemangku kebijakan tak bisa meremehkan hal ini. Kebijakan yang strategis, penganggaran yang proporsional, penggunaan kemampuan secara tepat dan pengawasan yang efektif sangat diperlukan.
Oleh Khairul Fahmi, Institute For Security And Strategic Studies (ISESS)