Artikel ini ditulis oleh Fatmata Juliansyah, Manager Advokasi dan Kampanye Kawali.
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sorik Merapi, Mandailing Natal, Sumatra Utara, pada awal tahun 2021 lalu membuat publik kaget atas terjadinya kecelakaan kerja hingga menimbulkan korban jiwa, yakni beberapa warga sekitar proyek meninggal, dan beberapa lainnya luka-luka.
Kemudian hal serupa kembali terulang di awal tahun 2022 menyebabkan puluhan orang dilarikan ke rumah sakit akibat terhirup gas H2S pada saat pihak pengelola melakukan uji coba sumur.
Hal ini sangat membahayakan dan meresahkan masyarakat sekitar yang tinggal di dekat wilayah kerja PLTP, selain meresahkan hal ini termasuk pelanggaran HAM.
Setiap orang berhak untuk memiliki lingkungan yang baik dan sehat, tetapi dengan kejadian yang terjadi pada wilayah kerja PLTP Sorik Merapi tersebut, terjadi pencemaran udara oleh gas beracun.
Artinya sudah tidak ada lagi lingkungan yang baik dan sehat, justru yang ada adalah pelanggaran HAM.
Padahal HAM merupakan hak konstitusional tiap warga negara yang dijamin pemenuhan dan perlindungannya oleh konstitusi, dan pemerintah sebagai penyelenggara negara wajib untuk menjamin hak tersebut.
Kejadian serupa (kecelakaan kerja) pun terjadi pada wilayah kerja PLTP Geo Dipa Energi Dieng, Banjarnegara pada 13 Juni tahun 2016 dan 12 Maret 2022.
Kecelakaan menyebabkan 1 orang karyawan meninggal dunia dan beberapa karyawan lainnya dilarikan ke RS akibat terhirup gas beracun.
Tidak ada masyarakat yang menjadi korban pada kasus Geo Dipa ini. Walaupun demikian, dikhawatirkan terganggunya psikologis dan keresahan masyarakat sekitar wilayah kerja Geo Dipa. Hal ini saling berkaitan dengan efek psikologis masyarakat.
Mengingat kecelakaan kerja seperti ini berulang kali terjadi, maka diharapkan bagi pihak perusahaan yang bertanggung jawab penuh atas kegiatan lingkungannya tidak bersembunyi dibalik kata kecelakaan, ataupun seolah meminta publik untuk bersikap maklum atas kecelakaan kerja yang terjadi.
Kecelakaan atau kelalaian masih dapat diwajarkan apabila tidak dilakukan berulang kali. Namun tidaklah wajar dalam mempertahankan kelalaian dan membiarkan kecelakaan ini terus terjadi.
Sesuatu yang terjadi berulang kali pada hal yang sama akan mengindikasikan faktor kesengajaan dan pola yang sistematis, apabila kejadian kecelakaan ini terus terjadi dan terulang kembali maka ini merupakan kejahatan ekosida.
Kejahatan ekosida merupakan istilah kejahatan lingkungan hidup yang berulang kali, dan secara besar-besaran. Pemerintah dapat pula terlibat dalam kejahatan ekosida ini, karena ini merupakan persoalan struktural.
Kecelakaan kerja dapat terjadi karena salah satu faktornya adalah kemudahan izin yang diberikan, dan minimnya pengawasan atau luput pengawasan dari pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Kami menuntut tegas pemerintah untuk memberikan sanksi berupa pencabutan izin kepada perusahaan yang terus berulangkali melakukan kecelakaan kerja yang berakibat fatal terhadap lingkungan dan masyarakat.
Perusahaan harus melakukan ganti kerugian dan pemulihan lingkungan, serta meningkatkan pengawasan dan syarat perizinan perusahaan.
Apabila pemerintah diam dan tidak memberikan sanksi sebagaimana yang seharusnya dilakukan, maka akan menimbulkan pemahaman bahwa adanya keterlibatan pemerintah itu sendiri terkait kejahatan ekosida.
Dan hal tersebut akan mencerminkan kegagalan negara dalam melindungi dan menjamin hak konstitusional setiap warga negaranya.
Terlepas dari persoalan kecelakaan kerja yang disebabkan oleh dua perusahaan panas bumi tersebut, kami tetap mendukung energi terbarukan panas bumi terkait transisi energi dari energi fosil ke energi bersih menuju Net Zero Emission 2060.
Dengan catatan pemerintah tetap harus meningkatkan pengawasan dan syarat pemberian izin perusahaan pengelola, perusahaan pengelola mempunyai akuntabilitas, mengedepankan keamanan kerja bagi masyarakat dan karyawannya, mengedepankan perspektif lingkungan, kesejahteraan serta kenyamanan masyarakat.
[***]