KedaiPena.Com – Rencana Perancis memberlakukan pajak progresif pada produk sawit dan olahan sangat tidak adil. Kebijakan itu menghancurkan masa depan sawit dan orang yang bekerja didalamnya.
Demikian dikatakan Menteri Penanaman Industri dan Komoditas Malaysia Datok Sri Douglas usai menandatangani Prasasti Kerjasama Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) di gedung BPPT I, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Menurut Datok Douglas, jika Perancis tetap menggolkan RUU tersebut, maka akan mengganggu hubungan antara Perancis dan Malaysia yang sudah terbangun lama. Selanjutnya, Dato Sri Douglas mengaku sepakat dengan sikap Indonesia, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli.
“Sepakat dengan menteri Rizal Ramli, Malaysia dan Indonesia akan melayangkan protes terhadap Perancis,” kata Dato Sri Douglas lagi.
Dalam waktu dekat, Malaysia, kata Datok Souglas akan memanggil duta besar (dubes) Perancis dan asosiasi minyak sawit Eropa untuk mengkomunikasikan protes Malaysia dan Indonesia.
“Palm oil itu solusi untuk perubahan cuaca. Minyak sawit itu bisa jadi suistainable fuel dan minim polusi. Perancis sangat tidak adil,”kata Datok Douglas
Untuk diketahui, dalam rancangan amandemen Undang-Undang Nomor 367 tentang Keanekaragaman Hayati yang berlaku di Perancis, pajak progresif untuk produksi sawit dimulai pada 2017. Pada tahun tersebut, produk sawit dikenakan pajak 300 euro per ton.
Pada 2018 nanti, pajaknya naik menjadi 500 euro per ton, kemudian naik lagi menjadi 700 euro per ton pada 2019, lalu menjadi 900 euro per ton pada 2020.
Menteri Koordinator dan Sumber Daya Rizal Ramli menambahkan, kebijakan itu aneh karena pajak tersebut tidak berlaku pada biji rapa, bunga matahari, dan kedelai atau minyak nabati yang diproduksi di Perancis.
Pasalnya, RUU tersebut juga mencantumkan adanya tambahan bea masuk sebesar 3,8 persen untuk minyak kelapa sawit yang digunakan untuk produk makanan dan 4,6 persen untuk minyak inti kelapa sawit atau kernel.
(Oskar/Foto: Istimewa)