HARI ini, Kamis (14/2/2019), dalam pidato kampanyenya di Purwodadi, calon presiden nomor 02 Prabowo Subianto kembali menegaskan tentang korupsi gila-gilaan yang menyebabkan kebocoran anggaran. Menurutnya, salah satu cara yang mereka paling senang adalah membuat proyek.
“Proyeknya harganya mungkin 100, dia bilang 200. Itu caranya. Banyak caranya deh. Aku saksi mata, hapal semua cara-cara itu.”
Pernyataan tersebut seperti memperjelas pidato Prabowo seminggu sebelumnya (6/2) di Jakarta, pada acara Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).
“Saya hitung dan saya sudah tulis di buku, kebocoran dari anggaran rata-rata, taksiran saya mungkin lebih, sebetulnya 25% taksiran saya anggaran bocor. Bocornya macam-macam. Kalau anggaran kita yang sudah disepakati US$ 200 miliar, kalau kebocoran tadi 25%, artinya yang hilang, hampir Rp 500 triliun yang bocor,” ujar Prabowo.
Merespon Prabowo, dalam tulisan di blog pribadinya, ekonom Faisal Basri mencoba menghitung angka kebocoran anggaran versinya. Menurut asumsi Faisal Basri, bila 10% dana transfer daerah bocor, 50% dana desa bocor, 20% dana belanja barang dan belanja modal bocor, 5% dana subsidi bocor, dan 50% dana bansos, hibah dan belanja lainnya juga bocor, maka total kebocoran mencapai Rp 241 triliun. Nilai ini hanyalah setengah dari taksiran kebocoran versi Prabowo.
Kemudian, dari hasil diskusi pribadi saya dengan ekonom senior Rizal Ramli, menaksir besaran yang berbeda untuk kebocoran anggaran ini. Menurut Rizal Ramli, kebocoran anggaran sebesar 30% terjadi saat pelaksanaan pembangunan dan 10% terjadi pada saat perencanaan pembangunan. Bila ditotal, maka terjadi 40% kebocoran pada anggaran pembangunan, bukan anggaran keseluruhan.
Taksiran 40% kebocoran ini juga sesuai perkiraan komisioner KPK Alexander Marwata pada 2017 yang menyebut korupsi di daerah bisa mencapai 20%-40%.
Berdasarkan postur APBN 2018, yang termasuk anggaran untuk pembangunan adalah: 1) Belanja K/L (Rp 847 triliun) di luar belanja gaji pegawai (Rp 227 triliun), yaitu sebesar Rp 620 triliun; dan 2) Transfer daerah dan dana desa sebesar Rp 766 trilun. Bila ditotal, kedua item ini besarnya Rp 1.386 triliun.
Artinya bila saya hitung menggunakan taksiran kebocoran sebesar 40% dari Rp 1.386 triliun, maka besarnya adalah sebesar Rp 554 triliun. Nilai ini cukup sesuai taksiran versi Prabowo, bahkan sedikit (10%) melebihinya.
Namun, perlu diketahui, selain korupsi yang bersifat mark-up (melebihkan nilai) seperti perhitungan di atas, ada juga korupsi yang bersifat mark-down (mengurangi nilai). Bila korupsi yang bersifat mark-up terjadi pada institusi negara yang bersifat merencanakan dan mengeksekusi anggaran pembangunan, korupsi yang bersifat mark-down biasa terjadi pada insitusi negara yang bertugas untuk mengumpulkan penerimaan seperti pajak dan PNBP.
Menurut taksiran saya, setelah berdiskusi dengan para analis dan pelaku usaha, para pengusaha besar sangat sering melakukan patgulipat dengan para petugas pengumpul pajak dan PNBP. Bila dirata-rata, para pengusaha nakal ini hanya membayar sekitar 30%-50% dari kewajiban mereka yang seharusnya.
Atau dengan kata lain telah terjadi kebocoran pada penerimaan negara sebesar 50%-70%. Berdasarkan data terakhir tahun 2018, besaran penerimaan pajak adalah sebesar Rp 1.315 triliun dan PNBP sebesar Rp 407 triliun. Besarnya magnitude kebocoran ini, perhitungan saya dengan mengambil angka yang paling moderat (tidak usah 50%, tapi 30% saja) adalah sekitar Rp 738 triliun. Potensi kebocoran pada mark-down penerimaan negara ternyata jauh lebih besar dari kebocoran pada mark-up anggaran pembangunan.
Jadi, saya rasa tidak perlu presiden sekaligus capres petahana Joko Widodo berkelit dari kenyataan bocornya anggaran dan penerimaan selama ini. Apa masih kurang bukti bagaimana dari hari ke hari satu persatu para pejabat dan aparat hukum ditangkap oleh KPK. Sejak 2014 hingga sekarang, tidak kurang dari 60 kepala daerah dan 132 anggota DPR-DPRD telah ditangkap oleh KPK.
Yang teranyar dan fantastis, adalah seorang kepala daerah yang berasal dari partai yang sama dengan presiden dan capres petahana, melakukan korupsi yang menyebabkan negara mengalami kebocoran penerimaan negara hingga Rp 5,8 triliun. Bila KPK lebih besar dan kuat lagi, niscaya seluruh kebocoran tersebut dapat diatasi.
Sayangnya, kita lihat presiden sendiri malah seperti tidak serius mengungkap berbagai upaya pelemahan terhadap KPK, terlihat dari berlarut-larutnya pengusutan hukum terhadap teror yang dialami para pegawai KPK (kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan dan penganiayaan pegawai KPK di Hotel Borobudur).
Sekarang adalah solusinya, bagaimana cara menghentikan segala kebocoran tersebut. Kami sangat setuju dengan usulan kubu Prabowo untuk mendirikan KPK-KPK di daerah. Langkah ini dapat mempersempit gerak para aparat korup di daerah.
Kami juga setuju solusi Prabowo untuk menaikkan gaji aparat penegak hukum dan pejabat penyelenggara negara, serta mengganjar hukuman yang sangat berat bagi mereka yang masih korupsi padahal sudah digaji sangat tinggi.
Sudah benar misalnya dengan menerapkan hukuman kerja paksa menambang pasir di pulau terpencil, atau versi yang lebih ekstrim seperti dipenjara di pulau malaria khusus bagi terpidana korupsi.
Namun tidak lupa, untuk memberantas korupsi di kalangan politisi, perlu diadakan reformasi pembiayaan partai politik dengan membiayai seluruh kebutuhan partai politik dari anggaran negara. Karena selama ini alasan para politisi melakukan korupsi adalah untuk membiayai kebutuhan politik mereka, meskipun mungkin akhirnya hanya sebagian kecil saja (sekitar 10%) dari hasil korupsi ini yang mereka setor ke partai politik, sedangkan porsi terbesarnya adalah untuk memperkaya diri pribadi mereka.
Selain dapat menekan korupsi, kebijakan pembiayaan partai politik oleh negara ini juga akan memunculkan kader-kader muda terbaik di masing-masing partai yang dalam jangka panjang dapat meruntuhkan kuasa oligarki politik.
Oleh Gede Sandra, Pergerakan Kedaulatan Rakyat