Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Masyarakat heran melihat data kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) bisa jauh berbeda dengan data kemiskinan menurut Bank Dunia.
Perbedaan perhitungan kedua institusi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
BPS menghitung tingkat kemiskinan nasional. Sedangkan Bank Dunia menghitung tingkat kemiskinan internasional agar bisa membandingkan tingkat kemiskinan antar negara.
Kriteria untuk menghitung tingkat kemiskinan dinamakan garis kemiskinan. BPS menentukan garis kemiskinan nasional, Bank Dunia menentukan garis kemiskinan internasional.
Garis kemiskinan menurut BPS untuk September 2021 ditetapkan Rp486.168 per orang per bulan. Masyarakat yang mempunyai pendapatan di bawah garis kemiskinan tersebut termasuk kategori penduduk miskin.
Dengan kriteria tersebut, jumlah penduduk miskin Indonesia pada 2021 mencapai 26,5 juta orang, atau 9,71 persen dari populasi.
Garis kemiskinan menurut Bank Dunia tergantung dari status negara yang terbagi dalam tiga kelompok, yaitu negara berpendapatan rendah (negara miskin) dengan pendapatan 1.045 dolar AS per kapita per tahun, negara berpendapatan menengah bawah dengan pendapatan per kapita antara 1.046 – 4.095 dolar AS per kapita per tahun, dan negara berpendapatan menengah atas dengan pendapatan di atas 12.695 dolar AS per kapita per tahun.
Garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah bawah ditetapkan 3,65 dolar AS per orang per hari, dan negara berpendapatan menegah atas 6,85 dolar AS per orang per hari, dengan menggunakan kurs PPP (Purchasing Power Parity) 2017. Dalam kurs rupiah, garis kemiskinan tersebut masing-masing sebesar Rp591 ribu dan Rp 1,1 juta per orang per bulan.
Pendapatan per kapita Indonesia pada 2021 sudah mencapai 4.333 dolar AS, dan karena itu masuk kategori negara berpendapatan menengah atas. Dengan status sosial seperti ini, jumlah penduduk miskin Indonesia pada 2021, mencapai 167,8 juta orang atau 60,7 juta persen dari total populasi.
Pendapat per kapita Indonesia tersebut hanya sedikit di atas negara berpendapatan menengah bawah (4.333 dolar AS versus 1.096 dolar AS).
Meskipun menggunakan kriteria garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah bawah, yaitu penghasilan di bawah Rp 591 ribu per orang per bulan, jumlah penduduk miskin Indonesia pada 2021 ternyata sangat besar sekali, mencapai 62 juta orang atau 22,4 persen dari populasi, dan jauh lebih besar dari data kemiskinan BPS pada 2021 sebesar 26,5 juta. Padahal perbedaan garis kemiskinan antara BPS dan Bank Dunia tersebut hanya sekitar Rp105 ribu (Rp591 ribu – Rp486 ribu).
Apa artinya? Artinya, jumlah penduduk yang mempunyai penghasilan antara Rp486 ribu hingga Rp591 ribu per orang per bulan mencapai 34,5 juta orang, atau 134 persen lebih banyak dari jumlah penduduk yang mempunyai penghasilan di bawah Rp486 ribu per orang per bulan.
Tidak heran, ketika inflasi naik cukup tinggi, dan garis kemiskinan juga naik cukup tinggi, tetapi penghasilan masyarakat di kelompok sekitar garis kemiskinan tidak naik (signifikan), maka jumlah penduduk miskin akan naik.
Seperti yang terjadi pada periode Maret hingga September 2022 (6 bulan), jumlah penduduk miskin naik 200 ribu orang. Atau periode 2019-2022 (3 tahun), jumlah penduduk miskin naik 1,57 juta orang.
Garis kemiskinan hanya naik dari Rp440.538 menjadi Rp535.547 per orang per bulan, atau sekitar Rp105, tetapi membuat jumlah penduduk miskin naik 1,57 orang.
Artinya, pemerintahan Jokowi gagal meningkatkan penghasilan masyarakat hampir miskin, sehingga inflasi membuat mereka masuk kategori penduduk miskin.
Padahal, pendapatan negara pada 2021 dan 2022 naik luar biasa besar akibat kenaikan harga komoditas.
Ternyata kenaikan tersebut hanya dinikmati oleh para oligarki dan pejabat korup, dan berhasil memiskinkan rakyat miskin.
[***]