SEPERTI diberitakan sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) menyatakan pemerintah akan memberikan tax holiday PPh (Pajak Penghasilan) selama 20 tahun bagi investasi di atas Rp 30 triliun.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), juga akan diberikan tax holiday selama 5 tahun bagi investasi Rp 500 miliar-Rp 1 triliun; 7 tahun bagi investasi Rp 1 triliun-Rp 5 triliun; 10 tahun bagi investasi Rp 5-Rp 15 triliun; dan 15 tahun untuk investasi Rp 15 triliun-Rp 30 triliun.
Sebelumnya pemerintah dituding sebagian kalangan telah menerapkan kebijakan kontraksi melalui tax amnesty. Kini pemerintah menunjukkan niat baiknya untuk serius memacu laju perekonomian, dengan membebaskan pajak kalangan terkaya.
Ini memang terlihat sebagai langkah yang serius untuk memacu pertumbuhan, tapi masalahnya kemudian terletak pada keadilannya, keberpihakannya.
Akankah percepatan ekonomi kita ke depan hanya menguntungkan kalangan terkaya? Baik BPS maupun Oxfam sepakat bahwa masalah Indonesia juga adalah ketimpangansosial.
Data terakhir BPS, ketimpangan sosial yang diukur dengan gini ratio, yang masih sangat buruk, di kisaran 0,391. Tahun lalu Oxfam merilis laporan yang menyatakan bahwa hartaempat orang terkaya di Indonesia mencapai US$ 25 miliar (atausetara Rp 334 triliun), sementara, harta total kekayaan 100 juta penduduk miskin Indonesia hanya US$ 24 miliar (atau sekitarRp 320 triliun).
Apa gunanya bertumbuh tapi tanpa keadilanekonomi? Mengapa keadilan? Karena ternyata pada saat bersamaan Menteri Keuangan seolah sangat bersemangat menguber pajak kalangan usahawan kecil dan menengah (UKM).
Seperti dalam kasus PPh Final bagi UKM, Presiden Jokowi menginginkan turun dari 1% hingga ke angka 0,25%, Menteri Keuangan ngototdi angka 0,5%. Ini menunjukkan kebijakan pajak Menteri Keuangan tidak berpihak kepada sektor UKM, yang merupakan mayoritas usaha masyarakat kita. Pemerintah telah bertindaktidak adil kepada kalangan usaha.
Selain masalah keadilan, dengan kebijakan melonggarkan pajak usaha besar namun tetap mengejar pajak usaha kecil seperti yang dilakukan pemerintah sekarang, kami tetap ragu ekonomidapat bertumbuh cepat.
Ada dua alasan yang salingberhubungan erat. Pertama, pertumbuhan ekonomi kita ditunjang mayoritasnya oleh konsumsi masyarakat menengah ke bawah, bukan oleh kalangan atas. Kalangan menengah atas cenderung untuk menahan simpanan atau menghabiskan di luar negeri.
Sementara kalangan menengah ke bawah cenderung untuk menghabiskan pengeluarannya untuk konsumsi di dalam negeri. Tanpa ada perbaikan konsumsi masyarakat dari kalangan masyarakat menengah ke bawah yang diwakili sektor UKM, sangat sulit ekonomi kita bertumbuh.
Kedua, akibat tidak membaiknya konsumsi masyarakat luas, maka para bankir akan tetap ragu untuk menyalurkan kredit. Tidak ada gunanya pemerintah terus mengimbau bankir untuk meningkatkan pemberian kredit, mereka tahu apa yang harus dilakukan, yang harus dilakukan adalah perbaikan daya beli!
Para pengusaha pun, karena kondisi pelemahan daya beli masih terasa, menjadi tetap ragu untuk mencairkan kredit usaha mereka di perbankan.
Undisbursed loan atau kredit yang belum terpakai di perbankan, selama pemerintahan Jokowi, terbukti terus membesar, dari Rp 1.137 triliun di tahun 2014 menjadi Rp1.410 triliun di 2017. Bila kredit usaha sulit cair, mana mungkin terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi.
Oleh Gede Sandra, Pengamat Ekonomi Universitas Bung Karno