Artikel ini ditulis oleh Gede Sandra, analis ekonomi Universitas Bung Karno (UBK).
Ketimpangan pengeluaran, yang digambarkan BPS dengan Gini Ratio, angkanya meningkat dari 0,381 (Maret 2020) ke 0,384 (Maret 2021).
Sementara di perkotaan, Gini Ratio juga meningkat dari 0,392 (Maret 2020) ke 0,401 (Maret 2021).
Ketimpangan pengeluaran meningkat, artinya orang semakin sedikit membelanjakan pendapatannya.
Bagi orang miskin yang memang tidak ada simpanan untuk pendapatannya, gini ratio tersebut mungkin dapat berlaku.
Tetapi bagi kalangan orang kaya, menengah ke atas, mungkin saja tidak
berlaku.
Mengapa? Karena bagi kalangan kaya, mengurangi pengeluaran bukan berarti mereka bertambah miskin.
Mungkin saja berarti juga mereka lebih banyak menabung. Dan terkonfirmasi, dana pihak ketiga (DPK) di perbankan di tahun terjadinya pandemi malah meningkat 6,5 persen dari tahun 2019.
Maka yang terjadi saat ini angka ketimpangan yang sebenarnya dapat lebih parah daripada yang terukur.
Faktanya memang kemiskinan meningkat, dan pada saat yang sama orang kaya bertambah.
BPS menyebut, bila dibandingkan dengan Maret 2020 jumlah penduduk miskin meningkat 1,1 juta jiwa.
Total penduduk miskin menjadi 27,5 juta jiwa (standar garis kemiskinan Rp472.525/kapita/bulan).
Sedangkan jumlah orang kaya juga meningkat. Menurut Credit Suisse, jumlah penduduk Indonesia yang memiliki kekayaan bersih US$ 1 juta melonjak 61,7 persen dari tahun 2019. Sebanyak 171.740 jiwa.
Sementara jumlah penduduk Indonesia yang sangat kaya, memiliki kekayaan lebih dari US$ 100 juta, mencapai 417 orang, atau naik 22,3 persen dari tahun 2019.
Apa yang terjadi di masyarakat adalah cerminan dari kebijakan pemerintah. Jadi bila ternyata ketimpangan semakin parah, yang miskin semakin banyak dan yang kaya juga semakin banyak,
adalah sebab pilihan kebijakan pemerintahannya sendiri.
Kebijakan Pro Investor
Penyebab utama ketimpangan adalah karena kebijakan fiskal yang dipilih pemerintah Indonesia, dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani, terlalu berpihak kepada investor, bukannya kepada rakyat banyak.
Istilah saya ini adalah kebijakan fiskal N.K.R.I atau Negara Kesatuan Republik
Investor.
Contohnya saja. Ada rencana melakukan tax amnesty jilid ke-2. Padahal dengan adanya tax amnesty sekali saja itu sudah menunjukkan kemana keberpihakan pemerintahan ini?
Jelas kepada investor dan pengusaha besar yang selama ini menggelapkan pajaknya dari Negara. Ini ada rencana
mau diulang kembali, sungguh tak masuk akal!
Lalu untuk investor juga ada kebijakan-kebijakan fiskal lain, seperti:
1) pajak pembebasan royalti
batubara (bila lakukan hilirisasi untuk energi);
2) pembebasan pajak barang mewah;
3) pembebasan pajak kapal mewah (yatch);
4) penurunan tarif PPh Badan (dari 25% ke 20% untuk perusahaan non publik dan dari 20% ke 17% untuk perusahaan publik);
5) Relaksasi pengurangan pembayaran PPh impor dan PPh pasal 25.
Semuanya adalah kebijakan Menteri Keuangan.
Kebijakan pemerintah di sektor perbankan pun juga sangat mendukung kalangan investor dan pengusaha.
OJK menyebutkan bahwa per Juli 2021 realisasi restrukturisasi kredit sektor perbankan mencapai Rp 779 triliun.
Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sendiri yang memang ditujukan sebagian besarnya untuk kalangan pengusaha, tahun 2020 adalah sebesar Rp 575,8 triliun dan tahun 2021 sebesar Rp 699,4 triliun.
Apalagi di dalam UU Cipta Kerja juga, kalangan investor dan pengusaha juga mendapat sangat banyak kemudahan.
“Daging” dari UU Cilaka tersebut adalah perpanjangan kontrak otomatis untuk
para perusahaan tambang, yang seharusnya dikembalikan ke Negara.
“Lemaknya” untuk importir bahan pangan yang semakin dipermudah.
Sementara “tetelan”-nya adalah penghapusan-pengurangan hak-hak pekerja, yang menguntungkan para pemilik pabrik.
Jadi, sudah sangat banyak sekali yang diberikan pemerintah untuk kalangan investor, orang kaya.
Sementara, untuk rakyat banyak yang ada malah kenaikan pajak dan tarif layanan. Mulai dari:
1) rencana kenaikan PPN dari 10% ke 12%;
2) menaikkan cukai rokok ke 12,5%;
3) rencana mengenakan PPN bagi jasa pendidikan;
4) menaikkan tarif dasar listrik;
5) menaikkan harga BBM;
6) rencana mengenakan pajak pada sembako.
Padahal kita tahu kehidupan rakyat banyak sudah sangat tertekan karena pandemi. Maka tak heran bila warga miskin di kalangan rakyat banyak terus
bertambah.
Di bawah ini adalah tabel yang menunjukkan dengan jelas, bagaimana pilihan kebijakan fiskal (pajak) Menteri keuangan Sri Mulyani sangat berpihak untuk orang kaya namun menindas rakyat banyak.
[***]