Artikel ini ditulis oleh Nanang Djamaludin, penggagas Klub Literasi Progresif (KLiP).
Bagaimana bisa sebuah negara yang katanya, malahan faktanya masyarakatnya sungguh hobi meneriakkan slogan, ber-Pancasila dan ber-Ketuhanan yang Maha Adil, akhirnya tiba pada situasi dan kondisi di mana mayoritas rakyatnya, yang sebenarnya banyak yang ‘kere’, namun bisa tetap ‘nrimo’ dan “ceria-ceria saja” atau setidaknya biasa-biasa saja menyikapi situsi ketika secara faktual dan aktual ternyata negara terus saja lebih memrioritaskan menyubsidi segelintir orang-orang kaya sambil terus mencabut subsidi untuk rakyat miskin sejak beberapa dekade terakhir ini?
Jawabnya menurutku, karena rezim komite borjuasi ini mampu secara efektif menggunakan ‘soft power’ dan ‘hard power’ yang berada dalam genggamannya.
‘Soft power’ digunakan dengan memroduksi pengetahuan sesat dan kesadaran palsu yang bertujuan “menormalisasikan” kebijakan yang antikeadilan itu sehingga dapat dipandang adil dan wajar-wajar saja tanpa perlu merasa terganggu rasa keadilannya sebagai manusia. Tanpa merasa perlu tergerak mengkrisinya secara konsoldatif, massif, dan signifikan.
Tak berhenti di situ, lalu rezim komite borjuasi memompa dan membanjiri pengetahuan sesat dan aneka kesadaran palsu itu kepada rakyat seluas-luasnya, tak terkecuali rakyat banyak yang tidak pernah terlatih membaca dan berpikir kritis-radikal atas muatan pengetahuan dan kesadaran palsu ciptaan rezim komite borjuasi.
‘Soft power’ itu beroperasi dengan menggerakan tuas-tuas dan tombol dalam sistim kapitasme yang digerakkan rezim komite borjuasi ini.
Yakni segenap aparatus ideologis, birokrasi; sistim pendidikan; para Kemeng (Kelas Menengah Ngehe); para lumpen proletar yang tak berbekal ilmu dan metode berpikir kritis tapi sok tahu dan cerewetnya minta ampun; agamawan-agamawan palsu prokapitalis, dan tentunya para ‘BuzzerRp’ yang gemar memakan bangkai saudaranya setanah airnya.
Dan ‘hard power’ itu beroperasi dan digerakkan lewat tuas-tuas lainnya yang sepenuhnya dimiliki dan dikendalikan rezim komite borjuasi ini. Yaitu dalam bentuk aparatus keamanan refresif yang menjadi anjing-anjing beringasnya kapital.
Bila mekanisme itu dan konten-konten terkait pengetahuan sesat dan kesadaran palsu itu tak juga disadari segera dan memperoleh perlawanan yang setimpal dalam skala yang semakin massif dan meluas, dengan melakukan konsolidasi dan perluasan perlawanan kalangan rakyat pendamba keadilan sosial-ekonomi, maka tren orang kaya terus-menerus disubsidi orang-orang miskin berpeluang terus berlangsung. Bahkan bukan mustahil bisa permanen.
Caranya, sebagaimana sebelumnya telah dulakukan rezim komite borjuasi ini, diantaranya melalui pemberlakuan UU Cilaka Omnibus Law yang penuh semangat melanggengkan praktik ekspoitasi dari oligarki terhadap rakyat dan lingkungan hidup secara gila-gilaan. Dan kebijakan membunuh spirit dan aksi substantif KPK yang sebelum-sebelumnya diapresiasi rakyat efektif menangkapi koruptor yang rajin nyolongin uang rakyat.
Peluang lainnya adalah dengan terus membuat kebijakan keringanan pajak maupun penghapusan pajak bagi orang kaya, seraya terus menggerus sampai nihil subsidi bagi rakyat. Atau lewat pelaksanaan perlindungan maksimum terhadap bisnis ekstraktif yang menggusur dan menghancurkan ruang-ruang hidup rakyat.
Bisa pula dengan melahirkan kebijakan yang meninabobokan para raksasa bisnis star-up agar terus melakukan hasrat liar akumulasi kapital dan ekspansi kapital serakus-rakusnya seraya menggencet hingga penyet “para mitra” yang telah membuat kekayaan pengusaha star-up semakin berlimpah secara eksponensial, sehingga hasilkan kesenjangan ekstrem yang lebar dan dalam antara kapitalis star-up dengan jutaan orang yang menjadi “mitra kerja”-nya.
Atau dalam bentuk kebijakan-kebijakan lainnya yang esensinya anti keadilan ekonomi, sosial dan hukum yang memungkinkan akan terus dibuat susul-menyusul oleh rezim komite borjuasi, untuk berikutnya “dinormalisasi” demi tidur nyamannya para oligark dalam menumpuk-numpuk harta dan pengaruh kekuasaannya.
Lalu pertanyaan pentingnya, maukah rakyat terus-menerus dihinakan seperti itu?
Jika mengambil opsi tidak, maka mari bersama bangkit untuk mengubah penghinaan itu menjadi perjuangan menuju rintisan ke arah kemenangan dan penggantian sistim yang telah terbukti jahat, rakus, antikeadilan, antikemanusiaan, dan antipelestarian lingkungan ini.
Diantaranya dengan memulai, setidaknya, inisiasi penyelenggaraaan pendidikan dan pencerahan berkala di basis-basis rakyat menggunakan khazanah teori-teori dan metode ilmu-ilmu kritis dan radikal.
Sebab, bukankah tak ada perubah radikal tanpa penggunaan teori-teori radikal dan pemakaian metode radikal?
[***]