MASIH ingat, di minggu-minggu awal menjabat Menteri Keuangan, Agustus 2016, Sri Mulyani pernah mengkritisi habis perhitungan target penerimaan pajak pemerintah selama dua tahun terakhir. Meskipun tak menyebut nama, tentu yang ditunjuk hidungnya oleh Sri Mulyani adalah pendahulunya, Bambang Brodjonegoro.
Disebutkan oleh Sri Mulyani, pada 2014, kekurangan penerimaan pajak sekitar Rp 102,8triliun atau realisasinya sebesar 92 persen dari target dalam APBN-P. Sedangkan pada tahun 2015 kekurangannya bertambah besar yakni mencapai Rp 248,9 triliun atau realisasinya hanya mencapai 83 persen dari target dalam APBN-P.
Namun, apakah setelah dengan mengkritisi kinerja Bambang Brodjonegoro, kemudian kinerja Sri Mulyani lebih bagus? Ternyata tidak juga.
Faktanya saat dipimpin Sri Mulyani, penerimaan pajak 2016 adalah sebesar Rp 998 triliun, tanpa mengikutkan amnesti pajak atau tax amnesty. Artinya bila dibandingkan dari target APBN-P 2016 sebesar Rp 1.355 triliun, telah terjadi kekurangan (short fall) penerimaan pajak sebesar Rp 357 triliun atau realisasinya sebesar 73,6 persen.
Mungkin ada pihak yang kritis, menolak untuk dibandingkan penerimaan pajak pertahun, karena Sri Mulyani baru masuk pemerintahan akhir juli 2016. Jadi hanya kuartal ke-IV 2016 saja yang lebih adil untuk dibandingkan.
Baiklah. Menurut data yang ada, penerimaan pajak sepanjang kuartal IV 2015 adalah sebesar Rp 457.33 triliun, atau sekitar 35,3 persen dari target APBN-P 2015 sebesar Rp 1.294,26 triliun. Penerimaan pajak sepanjang kuartal IV 2016, tanpa mengikutkan amnesti pajak, adalah sebesar Rp 414 triliun, atau sekitar 31,4 persen dari target APBN-P 2016 sebesar Rp1318,9 triliun.
Dengan demikian, artinya perhitungan target penerimaan pajakAPBN-P 2016 versi Sri Mulyani pun juga harus dikritisi. Karena ternyata realisasi penerimaan pajak tahun 2016 (73,6 persen) adalah yang terjauh dari target bila dibandingkan dengan tahun 2015 (83 persen) dan tahun 2014 (92 persen).
Naik Rating Modal Kontraksi
Sangat mengejutkan. Setelah sempat rally menyambut pengumuman kenaikan rating surat utang Indonesia oleh S&P, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali ke zona merahdua hari yang lalu. Ini mengindikasikan bahwa sebagian investor ternyata memiliki sentimen yang berbeda dari penilaian rating S&P. Suatu sentimen yang tentu memiliki basis penilaiannya sendiri atas perekonomian Indonesia.
Kami memandang, bahwa ini disebabkan oleh basis peningkatan rating yang tidak tepat. Tentu makna “tidak tepat†lebih kepada perbedaan sekolah pemikiran (mazhab) ekonomi yang dianut. Sebenarnya ada dua cara untuk menaikkan rating, yaitu dengan, pertama, pengetatan anggaran (kontraksi); atau kedua, memompa pertumbuhan ekonomi.
Tim ekonomi pemerintah menganut mazhab yang lebih mengedepankan kebijakan pengetatan anggaran (austerity policy), dibanding memompa pertumbuhan ekonomi, untuk dijadikan sebagai basis peningkatan rating.
Kontraksi. Cara yang sangat konservatif ini, pengetatan anggaran, memang jauh lebih mudah ketimbang memompa pertumbuhan ekonomi, yang tentu membutuhkan kombinasi banyak strategi yang sifatnya out of the box.
Selain itu perlu diketahui, kebijakan pengetatan anggaran sebagai bagian kebijakan neoliberal (lainnya: pencabutan subsidi, privatisasi BUMN, penerapan outsourcing/alih daya, dan seterusnya) terbukti menurunkan pertumbuhan produktivitas agregat bagi negara yang menganutnya. Contohnya Inggris, tempat lahir kapitalisme.
Pasca Perang Dunia II, Inggris menerapkan welfare state hingga pertumbuhan produktivitas agregat hampir mencapai rekor tertinggi 4 persen pada akhir 1970-an, tapi begitu menerapkan neoliberalisme atau Thatcherisme sejak 1980 hingga kini, pertumbuhan produktivitas agregatnya anjlok hingga sekitar 1 persen.
Atau contoh lain, Yunani, tempat lahir filsafat materialisme. Negeri di Eropa selatan ini malah semakin terpuruk perekonomiannya setelah dipaksa oleh Troika (Uni eropa, IMF, Bank Dunia) menelan pil pahit austerity policy dan serangkaian kebijakan neoliberal lainnya.
Pompa Pertumbuhan
Untuk diketahui, bahwa pemerintah Indonesia pada masa Gus Dur (1999-2001) dan BUMN Semen Gresik pada masa SBY (2004-2006) pernah melakukan strategi pemompaan pertumbuhan produktivitas demi meningkatkan rating. Berbagai strategi pemulihan ekonomi di era Gus Dur, yang berhasil mengangkat ekonomi dari minus (–) 5 persen di tahun 1999 hingga positif 4 persen di tahun 2001, dijadikan basis bagi S&P menaikkan rating surat utang Indonesia dari CCC+ (negative watch) pada September 1999 menjadi B- (stable) pada Maret 2000.
Kemudian, karena sukses meningkatkan efisiensi danproduktivitasnya, BUMN yang kini bernama Semen Indonesia ini pada Oktober 2006 dinilai lembaga pemeringkat Moody’s Investor berada dua tingkat di atas surat utang negara RepublikIndonesia saat itu.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)