PANDEMI corona membuat mata masyarakat terbuka betapa lemahnya ekonomi Indonesia. Kebijakan fiskal harus didoping dengan dua dosis.
Pertama, defisit anggaran ditingkatkan dari 3 persen menjadi tidak terbatas. Tapi tetap tidak memadai.
Maka diperlukan doping kedua dengan menarik Bank Indonesia (BI) untuk membiayai defisit anggaran tersebut. BI diminta membeli sebagian (besar) surat utang negara (di pasar primer?). Bahasa awamnya, mencetak uang.
Kedua doping tersebut sebenarnya ilegal. Melanggar undang-undang (UU) tentang Keuangan Negara dan UU tentang Bank Indonesia. Tetapi diterabas dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No 1/2020 yang kemudian disahkan menjadi UU No 2/2020.
Untuk melengkapi doping ini agar sempurna, perppu dilengkapi pasal “kekebalan” hukum. Mereka tidak bisa dituntut dalam kondisi apapun, meskipun doping tersebut ternyata salah guna, atau disalahgunakan, alias diselewengkan.
Tapi perlu diingat, undang-undang yang berlawanan dengan UUD dan dibentuk dengan niat kurang baik tidak bisa menghalangi hukum kebenaran, ketika kebenaran itu datang.
Kebijakan moneter BI saat ini sangat tidak memadai untuk menahan krisis ekonomi. Bahkan bisa kontra produktif.
BI seharusnya menurunkan suku bunga acuan (BI-rate) secara agresif. Tidak seperti sekarang, penurunan BI-rate tidak banyak arti.
Hanya turun 1 persen sejak 23 Januari 2020 hingga sekarang. Masing-masing turun 0,25 persen pada 20 februari 2020, 19 Maret 2020, 18 Juni 2020, dan terakhir 16 Juli 2020. BI-rate bertahan di 4 persen sampai sekarang.
Sebagai perbandingan, Bank Sentral AS (The Fed) sangat agresif menurunkan suku bunga acuan (Fed-rate) dalam menghadapi pandemi ini.
Fed-rate turun 1,5 persen dalam waktu kurang dari dua minggu: turun 0,5 persen pada 3 Maret 2020 dan turun 1 persen pada 15 Maret 2020, membuat Fed-rate mendekati 0 persen.
Bank of England juga menurunkan bunga acuan secara agresif. Turun dari 0,75 persen menjadi 0,25 persen pada 16 Maret 2020. Kemudian turun lagi menjadi 0,1 persen pada 19 Maret 2020.
Penurunan BI-rate sangat penting bagi pemulihan ekonomi. Karena, kalau BI-rate turun maka suku bunga pinjaman juga turun. BI-rate ditetapkan 4 persen di tengah krisis ekonomi yang parah ini sangat tidak masuk akal.
Akibatnya, suku bunga pinjaman perbankan tetap tinggi. Saat ini masih setidak-tidaknya 8 persen, bahkan ada yang di atas 10 persen. Suku bunga pinjaman yang tinggi tentu saja menjadi beban pemulihan ekonomi.
BI-rate 4 persen juga membuat suku bunga (yield) obligasi (korporasi maupun pemerintah) tetap tinggi. Jauh lebih tinggi dari yield obligasi sejenis di Vietnam, Filipina atau Thailand.
Oleh karena itu, BI seharusnya menurunkan BI-rate menjadi 1 persen atau 1,5 persen, untuk mempercepat pemulihan ekonomi.
Bukannya menurunkan BI-rate, BI dan pemerintah malah sepakat menjalankan skema burden-sharing. Artinya, BI membeli surat utang negara dengan bunga efektif 0 persen. karena BI akan mengembalikan kepada pemerintah semua bunga yang diterima.
Burden sharing merupakan istilah kamuflase saja. Istilah ini bisa masuk kategori pembodohan atau pembohongan pubik. Karena burden sharing pada dasarnya adalah mencetak uang, di mana BI membeli surat utang negara dengan bunga efektif 0 persen.
Dalam hal ini, BI sebenarnya tidak menanggung burden sama sekali. Karena uang BI berasal dari hasil “mencetak uang”.
Kebijakan moneter di atas sangat tidak pantas ditempuh oleh bank sentral negara terbesar ke empat dunia, anggota G20. Ini merupakan kebijakan moneter diskriminatif terhadap warga negara: korporasi, UMKM dan masyarakat versus pemerintah.
Kenapa pemerintah diberi suku bunga 0 persen tetapi masyarakat warga negara lainnya harus dibebani bunga tinggi? BI seharusnya mengambil kebijakan menurunkan BI-rate dan suku bunga pinjaman sehingga masyarakat dapat menikmati manfaat yang sama. Tetapi, BI tidak melakukannya.
Pertanyaannya, kenapa? Ada apa? Siapa yang diuntungkan? Di tengah krisis dan resesi ekonomi, bank besar di Indonesia (BUKU 4) masih dapat menikmati margin bunga bersih, atau Net Interest Margin (NIM), sebesar 5,09 persen pada April 2020. Sungguh besar sekali. Bagaikan rentenir.
Oleh Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)