KedaiPena.com – Kalangan buruh menolak keras ketentuan potong gaji sebesar 25 persen yang tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) nomor 5 Tahun 2023 Tentang Perusahaan Industri Padat Karya Berorientasi Ekspor.
Selain memberatkan, kalangan buruh menganggap bahwa kebijakan tersebut juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Menyikapi hal tersebut, Anggota Komisi VI DPR RI, Darmadi Durianto menilai, Permenaker tersebut tidak seharusnya diterapkan di tengah kondisi buruh yang baru saja bangkit dari keterpurukan imbas covid-19 kemarin.
Selain itu, kata dia, kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil juga bisa makin memberatkan kaum buruh dengan adanya permenaker tersebut.
“Jelas tidak adil buat buruh permenaker itu. Kebijakan itu hanya akan menggerus daya beli di tengah naiknya inflasi,” tegas Politikus PDIP itu kepada wartawan, Minggu (19/3/2023).
Menurutnya, menaikkan ekspor dengan memotong gaji bukanlah solusi yang relevan. Ketimbang memotong gaji buruh, Darmadi menyarankan agar pemerintah membuat relaksasi kebijakan yang dapat membuat perusahaan tetap menjalankan operasionalnya secara seimbang.
“Lebih baik memberikan insentif Pph atau PPn atau yang lain kepada perusahaan. Jangan potong gaji itu tidak adil. Selama pandemi banyak buruh susah, dikurangin gajinya, dirumahkan dan lain-lain,” tegasnya.
Tak hanya itu, Darmadi menekankan, penyusunan sebuah kebijakan atau regulasi mestinya berbasis pada kepentingan masyarakat yang jauh lebih bermanfaat.
Menurutnya, jika sebuah aturan dibuat hanya bertumpu pada sudut pandang normatif, produk kebijakan yang dihasilkan pun akan kontraproduktif bahkan hanya menimbulkan kontradiksi.
“Hukum terus berkembang, jika model pendekatan yang digunakan masih cenderung kaku dan tak berorientasi pada spirit keadilan (filosofis), kepastian hukum (yuridis), kemanfaatan bagi masyarakat (sosiologis) sebagaimana dikemukakan ahli hukum Gustav Radbruch, maka produk hukum yang dihasilkan hanya akan menghasilkan kebijakan yang cenderung statis bahkan keadilan sebagai prinsip dasar menjadi samar-samar maknanya,” tegas dia.
Menurutnya, basis pendekatan hukum positivistik-normatif sebagaimana terlihat dalam permenaker tersebut juga mengindikasikan bahwa para penyusun aturan itu belum memahami perkembangan hukum modern saat ini secara utuh.
“Outputnya pun kegaduhan. Mereka cenderung tak mau berpikir out of the box sebagaimana dikatakan Gustav Radbruch tadi bahwa regulasi mestinya berpijak pada tiga hal dasar yakni kemanfaatan, keadilan dan kepastian. Tiga hal ini tidak tercermin dalam permenaker itu,” tandasnya.
Terakhir, Darmadi mengatakan, keberadaan kaum buruh dalam sejarah perjalanan bangsa ini sangatlah vital dan kontribusi mereka terhadap negara juga sangat signifikan.
Sudah seharusnya, kata dia, kaum buruh diberikan penghormatan dan penghargaan melalui kebijakan yang tak melukai rasa keadilan mereka.
“Harusnya saat Permenaker dibuat dilandasi oleh kehendak politik yang berbasis pada keadilan. Sebab, bicara soal nasib buruh kata Bung Karno bukan soal urusan ekonomi saja seperti urusan upah, pensiun, asuransi dan pendidikan. Nasib kaum buruh juga ditentukan kepentingan politik. Jadi subur dan kuatnya serikat buruh tergantung pada nasib politiknya,” pungkasnya.
Laporan: Muhammad Hafidh