KedaiPena.com – Menaikkan harga BBM dianggap akan membuka potensi inflasi pangan yang lebih tinggi. Akan lebih baik, jika pemerintah lebih menguatkan program pembatasan pembelian BBM bersubsidi, sehingga APBN tidak akan diberatkan oleh subsidi energi.
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menyatakan pilihan menaikkan harga BBM merupakan kebijakan berisiko tinggi.
“Karena inflasi yang kini di pertengahan tahun, di Juli 2022, sudah menembus 4,94 persen, sudah diatas target pemerintah 3-4,5 persen. Meski atas nama subsidi yang membengkak, namun kenaikan harga pertalite dipastikan akan menambah tekanan ke inflasi,” kata Yusuf, saat dihubungi, Jumat (19/8/2022).
Yang paling dikhawatirkan, lanjutnya, adalah dampak kenaikan pertalite ke inflasi pangan yang kini sudah menembus 11 persen.
“Dibandingkan dengan pilihan menaikkan harga pertalite, pilihan yang lebih baik adalah pembatasan konsumsi pertalite,” ucapnya.
Ia menyatakan peluang kebijakan untuk membatasi pertalite hanya untuk kelompok miskin sebenarnya terbuka, teknologi nya banyak tersedia.
“Namun pilihan yang mengemuka justru pembatasan pertalite dengan cara yang menyulitkan bagi kelompok miskin. Yaitu melalui aplikasi mypertamina sehingga banyak ditentang publik. Padahal alternatif cara pembatasan pertalite yang pro kelompok miskin banyak tersedia,” ucapnya lagi.
Yusuf menyampaikan bahwa pembatasan pertalite agar tepat sasaran seharusnya tidak berbasis aplikasi, yang mengharuskan proses pendaftaran dan verifikasi, serta menuntut kepemilikan gadget, aplikasi dan pulsa.
“Alternatif yang lebih baik basis-nya adalah kendaraan bermotor, bukan aplikasi di gadget. Misal ditetapkan, yang berhak membeli pertalite adalah sepeda motor dan mobil jenis angkutan umum dan niaga saja, keluaran tahun berapa, kapasitas mesin berapa cc, dan lain-lain. Untuk sepeda motor dan mobil yang memenuhi kriteria, dapat dipasang alat pantau konsumsi pertalite seperti dengan teknologi RFID (Radio Frequency Identification). Dengan penyaluran pertalite berbasis kendaraan bermotor, menurut saya akan jauh lebih tepat sasaran dibandingkan dengan penyaluran berbasis aplikasi di gadget,” kata Yusuf.
Menyikapi perbandingan harga BBM Indonesia dengan negara lain, ia menyatakan bahwa perbandingan tidak bisa dilakukan secara langsung tanpa melihat daya beli masyarakatnya.
“Daya beli masyarakat Indonesia secara umum rendah, maka selayaknya negara mendorong harga kebutuhan pokok rendah, seperti BBM. Lebih jauh, persoalannya bukan sekedar soal paling murah atau bukan, tantangan kita hari ini adalah bagaimana mengendalikan inflasi yang kini terus melonjak. Dalam kondisi saat ini, menaikkan harga pertalite adalah berisiko tinggi. Padahal kita memiliki pilihan kebijakan pembatasan pertalite kepada yang berhak saja,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa