Ditulis oleh: Analis Ekonomi Gede Sandra
Pengeluaran penduduk bukan berarti merupakan saving atau tabungan penduduk. Masyakarat yang lebih kaya cenderung lebih menabung (dan tentu saja spekulasi) dibandingkan masyarakat yang kurang kaya.
Selain memang kelompok mayoritas terbawah ini tak memiliki apapun untuk ditabung. Artinya indeks gini pengeluaran tidak benar-benar mencerminkan ketimpangan. Seharusnya yang benar adalah indeks gini pendapatan.
Walaupun memang lebih sulit untuk menghitungnya, karena melibatkan institusi pajak dan bea cukai (belakangan terbukti keduanya bermasalah fraud/hukum). Namun ternyata, dalam indeks Gini pengeluaran saja, yang moderat, tetap terjadi peningkatan ketimpangan.
“Badan Pusat Statistik ( BPS) mencatat tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio per September 2020, yaitu 0,385. Angka ini meningkat 0,004 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2020 yang sebesar 0,381 dan meningkat 0,005 poin dibandingkan September 2019 yang sebesar 0,380.” (sumber: Inews.id)
Kemungkinan terjadi kesalahan dalam kebijakan perpajakan dan spending pemerintah, yang mengakibatkan pengeluaran masyarakat semakin timpang. Ada kalangan masyarakat yang seharusnya mendapatkan lebih, namun malah dialokasikan ke kalangan masyarakat yang sudah berlebih.
Pemerintah mengklaim telah melakukan segala sesuatunya dengan pruden, mengklaim lebih mengutakan ekonomi kecil dan korban PHK dalam kebijakan, tapi fakta BPS tidak demikian. Nyata telah terjadi kenaikan ketimpangan yang diukur Gini Ratio.
Masyarakat yang lebih mampu, saat menerima berbagai subsidi pajak (setelah tahun-tahun sebelumnya mendapatkan tax amnesty) lebih baik menginvestasikan kembali kepada pasar saham , membeli emas, atau bahkan membeli bond/surat utang negara.
Sementara apa yang didapat oleh masyarakat yang kurang mampu? Dari kartu pra kerja hingga bansos mereka pun dikorupsi. Rakyat kecil hanya dapat ampas. Tapi memang untuk rakyat besar, mereka yang dapat dagingnya. UU Minerba dan Omnibus Law adalah daging itu.
Pasar saham rally, investasi hasil dari subsidi pajak negara telah mengangkat indeks IHSG ke level di atas 6000-an lagi setelah jatuh sangat dalam sewaktu Pandemi. Hanya saja apa artinya pasar saham yang membaik tapi ketimpangan meningkat? Toh indeks Gini Ratio kita tetap saja memburuk.
Kemudian masalah berikutnya adalah pasar seperti menghukum ekonomi Indonesia. Saat ini suku bunga atau imbal hasil/yield surat utang Indonesia sangat tinggi. Saking tingginya hingga beberapa persen di atas suku bunga deposito. Infonya, dana perbankan tersedot sepertiga setiap pemerintah terbitkan surat utang.
Akibatnya terjadilah apa yang disebut dengan “crowding out effect”. Ekonomi melambat justru karena kebijakan fiskal pemerintah sendiri.
Subsidi pajak dan berbagai insentif dari pemerintah digunakan oleh kalangan masyarakat menengah atas untuk membeli surat utang negara yang berbunga ketinggian. Mereka berpikir dengan logika ekonomi yang sangat sederhana, daripada uang mereka hanya diam di deposito 4%, lebih baik dikeluarkan untuk membeli surat utang negara yang bunganya 6%. Apalagi resiko ditanggung sebesar-besarnya oleh Negara. Sangat aman.
Akibatnya pertumbuhan kredit terkontraksi menjadi minus 1,7% pada November 2020 dan kembali minus 2.7 persen pada bulan Desember 2020. Inilah tragedi dalam ekonomi.
Karena kebijakan pemerintah sendiri, telah terjadi ketimpangan dalam keseimbangan makro ekonomi antara moneter dan fiskal, yang menyebabkan terjadinya “crowding out effect”.
Pada saat suku bunga perbankan sudah sangat rendah, Bank Indonesia sudah susah payah menurunkan suku bunga acuannya, tapi suku bunga surat utang pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan tetap tinggi.
Ada insentif dari pemerintah yang meneybabkan dana kelompok masyarakat menengah atas mengejar posisi paling aman, membeli surat utang negara. Sehingga perbankan menjadi kesulitan mencairkan dana untuk membangun perekonomian meskipun otoritas moneter sudah berusaha turunkan bunga acuan mereka.
Karena ekonomi mandeg akibat pertumbuhan kredit minus, penerimaan perpajakan pun pasti anjlok.
Menurut ekonom Faisal Basri, pendapatan perpajakan yang diukur tax ratio berada pada posisi terendah tahun 2020, terburuk dalam 50 tahun terakhir.
***