Ditulis Khairul Fahmi Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)
BERTEPATAN dengan perayaan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2023, masyarakat menerima kabar gembira. Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Bung Karno-369 resmi dioperasikan oleh TNI AL Kapal jenis korvet itu sekaligus akan berfungsi sebagai kapal kepresidenan, menggantikan KRI Barakuda-633 yang sudah beroperasi selama 27 tahun.
Hanya berselang dua hari kemudian, kegembiraan itu harus terhapus oleh kabar memprihatinkan. Hari ini, KRI Teluk Hading-538 yang merupakan salah satu unsur KRI jajaran Satuan Lintas Laut Militer 1 Jakarta (Satlinlamil 1 Jakarta) Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil) mengalami kebakaran di perairan Selayar, Sulawesi Selatan.
Saat insiden kebakaran, kapal ini sedang dalam menjalankan operasi Rutin TNI AL. Beruntung, sejumlah kapal yang tengah melintas di sekitar perairan tersebut segera membantu evakuasi sehingga 119 prajurit di kapal tersebut dapat diselamatkan.
KRI Teluk Hading sudah berusia 45 tahun. Dibangun oleh VEB Peenewerft, Wolgast, Jerman Timur pada tahun 1978. Kapal berjenis Frosch-I/Type 108 ini termasuk dalam paket pembelian sejumlah kapal perang eks Jerman Timur pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dan masuk armada TNI AL pada tahun 1994, sebagai kapal pendarat pasukan dan pengangkut logistik.
Butuh waktu yang cukup panjang untuk memastikan penyebab kebakaran. Tapi hanya perlu waktu yang singkat untuk memantik pertanyaan klasik. Bagaimana kabar sejumlah rencana peremajaan alat utama sistem senjata (alutsista) yang dioperasikan TNI AL? Mengapa alutsista berusia 45 tahun masih saja dioperasikan?
Itu pertanyaan sederhana. Tapi jawabannya jelas tak sederhana. Sejak 2020 lalu, kita mendengar banyak kabar dan gosip rencana belanja alutsista, termasuk kapal perang. Ada kabar yang berasal dari Kementerian Pertahanan, ada kabar yang merebak dari gedung parlemen, ada pula kabar yang dirilis oleh pihak pabrikan atau perusahaan yang mengklaim sudah melakukan komitmen bahkan kontrak pembelian.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sendiri pada Januari 2022 lalu menegaskan bahwa dalam 24 bulan kedepan (hingga Desember 2023 ), Indonesia akan punya hingga 50 kapal perang siap tempur. Banyak yang mengira bahwa itu berarti hadirnya kapal baru. Saya justru meragukannya.
Target siap tempur dalam dua tahun menurut saya hanya mungkin terjadi jika sebagian besar kapal itu bukanlah kapal baru melainkan kapal siap tempur yang berasal dari refurbishment kapal tua dan pembelian kapal bekas. Kapal baru hanya sebagian kecil saja, mengingat waktu pembangunannya bisa mencapai lebih dari dua tahun untuk sampai benar-benar siap tempur.
Namun dari sejumlah rencana yang diumumkan seiring janji itu, manakah yang sudah benar-benar direalisasikan? Baik itu pembelian kapal selam dari Prancis, FREMM dari Italia, pembangunan fregat Arrow Head, proyek Korvet dan lain sebagainya.
Sejauh ini tidak ada perkembangan yang dipublikasikan, selain sejumlah capaian dalam pembangunan kapal angkut tank dan kapal cepat rudal yang dibangun di dalam negeri. Capaian itupun tak mampu menghilangkan keraguan bahwa target 50 kapal siap tempur benar-benar dapat dicapai hingga akhir 2024 atau penghujung Renstra III MEF.
Lebih dua tahun setelah tragedi KRI Nanggala-402 memberi pelajaran seharga puluhan nyawa prajurit. Hampir 18 bulan sejak target disampaikan di hadapan Komisi I DPR. Tinggal sedikit waktu yang tersisa, sudah berapa persen target yang dicapai? Apa masalahnya?
Tentu masyarakat tidak ingin hanya mendengar pepesan kosong. Walaupun skema Minimum Essential Forces (MEF) akan berakhir pada 2024 mendatang dan capaiannya masih belum memuaskan, kita memaklumi bahwa memang tak mudah untuk merealisasikan hal-hal yang telah disusun dalam Rencana Strategis (Renstra) secara ideal. Semua harus dilakukan bertahap, dengan sangat cermat dan berhati-hati.
Kemampuan keuangan negara memang menuntut pemerintah harus pintar-pintar mengelola prioritas. Kebutuhan begitu banyak, sementara uangnya terbatas.
Mulai dari pengembangan organisasi dan satuan untuk menjawab tantangan dan ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan laut kita, pemeliharaan dan peningkatan kemampuan satuan termasuk juga personelnya, hingga kebutuhan alutsista baik baru maupun yang terkait pemeliharaan, perawatan, dan gelar operasinya.
Prioritas kemudian menuntut TNI termasuk TNI AL membagi alokasi anggarannya secara proporsional. Itupun hanya bisa dilakukan dengan persetujuan dan sesuai arah kebijakan prioritas Kementerian Pertahanan sebagai pengguna anggaran. Tapi kira-kira, lebih mendesak mana, pengadaan sepeda motor baru yang dibagikan penuh kemeriahan dengan peremajaan kapal perang?
Apalagi, beberapa tahun terakhir ini pemerintah tengah fokus mengamankan perairan dari berbagai pelanggaran hukum dan kejahatan di laut. Penanganan aksi pencurian ikan oleh kapal-kapal asing, memberantas penyelundupan, dan mengatasi beragam kerawanan dan ancaman terhadap kedaulatan di laut.
Kebakaran KRI Teluk Hading-538 jelas akan mengakibatkan berkurangnya kesiapan operasional armada TNI AL dan berdampak pada peningkatan beban kerja kapal-kapal lain yang sebagian jelas usianya tak muda lagi. Luasnya perairan yang harus dijangkau, terbatasnya jumah armada yang siap berlayar dan bertempur mengakibatkan kapal-kapal tua yang mestinya sudah diistirahatkan itu, masih harus difungsikan secara maksimal.
Apa boleh buat, realisasi pengadaan kebutuhan alutsista baru ternyata tak berbanding lurus dengan perkembangan potensi gangguan dan ancaman. Nyaris tak ada kesempatan berleha-leha bagi armada-armada laut kita. Mau tua sekalipun, pokoknya semua harus bekerja keras.
Sudah waktunya pemerintah dan DPR diingatkan untuk benar-benar serius mempertimbangkan porsi anggaran yang lebih proporsional dan disiplin pada komitmen dan prioritas. Jika tidak, cita-cita mulia memperkuat jati diri sebagai negara maritim seperti tercantum sebagai program pertama Nawacita, akhirnya hanyalah omong kosong belaka.
Kalau boleh usul pada TNI AL, ada baiknya para pemangku kepentingan dan penentu kebijakan itu sesekali diajak berlayar. Jangan program joy sailing dengan kapal baru. Kalau perlu horror sailing. Biar mereka paham, bahwa setiap hari ada ratusan prajurit yang dicetak mahal-mahal itu, terancam nyawanya bukan karena perang tapi karena alutsista usang.
(***)