Artikel ini ditulis oleh Agustinus Edy Kristianto, mantan Direktur Yayasan LBH Indonesia.
Dari dulu saya malas bicara kereta cepat Jakarta-Bandung. Bagi saya tidak masuk akal. Tapi entah kenapa Presiden Jokowi getol betul masukkan barang ini menjadi proyek strategis nasional.
Ketika biaya bengkak hingga Rp113,9 triliun saat ini, dibuatkan revisi Perpres pula (Perpres 93/2021) yang memungkinkan APBN membiayai proyek itu, suatu hal khas Jokowi yaitu menelan ludah sendiri (sebelumnya ia bilang tidak akan pakai APBN).
Inti Perpres itu sederhana saja: mengangkat Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Ketua Komite Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung. Mengubah KAI menjadi pimpinan konsorsium.
Lalu, menyuruh LBP mengatasi bagian kewajiban perusahaan (PT Kereta Cepat Indonesia China/KCIC) dengan mengupayakan perubahan porsi saham dan syarat utang.
Kemudian menegaskan dukungan pemerintah via APBN/Penyertaan Modal Negara dan penjaminan pemerintah kalau mau utang lagi.
Coba kita pikir hal-hal berikut ini:
1. Urgensi bisnisnya saja tidak jelas. Dulu KA Parahyangan ditutup. Lalu menjadi KA Argo Parahyangan. Basis penumpangnya itu-itu saja. Kok, sekarang membangun bisnis yang sama lagi. Jika yang dibangun adalah proyek jet cepat, balon terbang kilat, atau gorong-gorong virtual Jakarta-Bandung masih masuk akal.
2. Coba lihat susunan pengurus KCIC. Komposisi saham adalah 60% PT Pilar Sinergi BUMN (Wijaya Karya, PTPN VIII, PT KAI, dan Jasa Marga) dan 40% Beijing Yawan HSR Co. Ltd (China Railway International Co. Ltd, China Railway Group Limited, Sinohydro Corporation Limited, CRRC Corporation Limited, dan China Railway Signal and Communication Corporation).
Dengan kepemilikan mayoritas, posisi strategis malah diduduki tetangga sebelah: Presiden Komisaris GuoJiang, Direktur Keuangan Zhang Chao, dan Direktur Teknis HSR Xiao Songxin. Ada yang kenal nama-nama inikah?
3. Urusan keuangan dan teknis mereka yang kontrol dan sekarang senegara sibuk bertanya mengapa biaya membengkak. Alasannya simpel: karena pihak sana yang menghitung RAB-nya. Kenapa begitu? Komposisi saham bolehlah kita 60% (mayoritas) dan itu berarti jangan dipikir untungnya saja tapi jika ada beban (utang) kita menanggung lebih besar. Posisi strategis justru dipegang mereka, yaitu kontraktornya.
Konsorsium kontraktornya (HSRCC) adalah 30% WIKA, 70% pihak China. Kalau mereka kontraktornya, mereka yang atur perencanaan, teknis, hingga bahan/materialnya. Proyek kereta cepat meningkatkan demand atas material seperti baja, beton, dan sebagainya. Itulah kenapa pada bulan lalu ada berita di “China Daily” tentang impor rel besi baja seberat 5.550 metrik ton untuk proyek ini yang dikirim dari Pelabuhan Fangchenggang di Provinsi Guangxi.
Bengkaknya biaya tidak semudah ocehan Kementerian BUMN karena pandemi atau dalih KCIC karena biaya pembebasan lahan dan fasum/fasos. Itu ngeles saja!
4. Karena biaya bengkak maka utang juga bengkak. Ingat, 75% proyek ini dibiayai utang dari China Development Bank berbunga 2%, tenor 10 tahun. Bengkaknya itu dari awalnya US$5,5 miliar, US$6,1 miliar, dan sekarang US$8 miliar (Rp113,9 triliun).
Hitung saja. 75% dari Rp113,9 triliun adalah Rp85,4 triliun. Total bunga pinjaman 10 tahun adalah 20% kali Rp85,4 triliun. Sama dengan: Rp17 triliun!
Sisa 25% dari kas KCIC. 60% Indonesia sebesar Rp17,08 triliun, 40% China sebesar Rp11,3 triliun.
Artinya apa? China sudah dapat keuntungan bunga, pemasukan dari pembelian bahan baku, dividen 40%, mengatur cashflow perusahaan.
Sementara kita? Lahan di negara kita, keluar duit APBN, rating utang pemerintah terancam jeblok kalau batuk-batuk bayarnya, risiko kerusakan lingkungan di wilayah kita.
5. Mau bilang proyek itu menciptakan lapangan kerja buat rakyat? Tunggu dulu. Saya kutip dari “thepeoplesmap.net”, sebuah riset yang dilakukan oleh Trissia Wijaya (4/8/2021), proyek ini katanya akan menciptakan 39 ribu lapangan kerja yang 2.400-nya untuk masyarakat lokal.
Tapi peneliti itu mewawancarai HRD KCIC dan mendapatkan fakta top-level management KCIC mayoritasnya adalah ekspatriat China, sementara orang lokal hanya dipekerjakan sebagai buruh saja. Bisa jadi TKA-TKA China juga ikut nimbrung sebagai pekerja lapangan.
6. Para orang ‘pintar’ pendukung proyek ini boleh saja berkoar tentang potensi masa depan kereta cepat. Tapi tetap saja itu baru analisis, belum terjadi, masih prediksi. Yang jelas-jelas sudah terjadi adalah utang proyek ini ke China sejak 2017 (advisor dari pihak Indonesia untuk utang ini adalah HHP Law Firm dan Baker McKenzie Wong & Leow), pembelian bahan baku, kepemilikan 40% saham, keuntungan bunga pinjaman.
Ingat juga, bisnis kereta cepat ini di China rugi besar dan pemerintahnya melakukan moratorium. Tahun lalu utang China State Railway US$850 miliar yang 80%-nya disebabkan tingginya biaya pembangunan rel dan konstruksi.
7. Kalau lihat promonya, termasuk oleh presiden, enak saja bilang proyek ini untuk konektivitas dan juga pariwisata di lokasi transit seperti Karawang dan Walini. Tapi kan tidak dibilang bahwa pengembang kawasan industri juga ikutan untung karena akses, kenaikan nilai lahan, dan sebagainya.
Salah satu yang diuntungkan contohnya adalah Podomoro Industrial Park (Agung Podomoro Group) yang menguasai 500-an hektare kawasan industri di situ. Soal ini saya sudah dengar lama bahwa inti bisnis mereka adalah bagaimana investor itu cuma modal kacamata hitam kalau ingin investasi di Indonesia. Dari bandara melintasi tol menuju TKP, ditambah sekarang ada kereta cepat. Semua sudah diurus rapi oleh negara untuk mereka.
Agung Podomoro, asal tahu saja, juga pernah tergabung dalam konsorsium proyek PLTU Jabar 1 tahun 2007, bersama Consortium of China Construction Bank.
8. Terakhir adalah masalah hukumnya. DPR saja mungkin tidak bisa akses perjanjian utang proyek ini. Apalagi rakyat jelata.
Studi yang dipublikasikan “Deutsche Welle” (31/3/2021) berjudul “China’s secret loans to developing nations pose problems, study finds” mengungkap tabir di balik sedikitnya 142 perjanjian utang yang melibatkan bank pemerintah China di 24 negara berkembang. Mayoritas utang itu berkaitan dengan proyek ambisius China’s Belt and Road Initiative.
Hal pertama adalah ketatnya klausul tentang kerahasiaan. Ada pula klausul yang memungkinkan pemberi pinjaman mempengaruhi kebijakan ekonomi dan luar negeri negara debitur. Lebih dari 90% kontrak yang diteliti itu menunjukkan China dapat mengakhiri kontrak dan menuntut pengembalian jika terjadi perubahan kebijakan atau hukum yang signifikan di negara peminjam.
Lalu ada juga temuan klausul yang memberikan prioritas kepada bank pemerintah China di atas kreditur lainnya. Pemutusan hubungan diplomatik yang dianggap sebagai wanprestasi.
30% dari kontrak yang diteliti terdapat klausul negara penerima pinjaman harus menyetorkan agunan di rekening khusus yang dipegang bank pemerintah China.
Jika terjadi kebangkrutan, bank China bisa menyita aset. Mekanisme restrukturisasi utang melalui Paris Club tidak dimungkinkan.
Kerahasiaan adalah yang paling penting. Bahkan tertulis begini dari riset tersebut: “Most importantly, citizens in lending and borrowing countries alike cannot hold their governments accountable for secret debts.” Jadi ini utang rahasia. Rakyat tak bisa meminta pertanggungjawaban pemerintah.
Proyek ini bakal jadi bom waktu, tunggu meledak saja beberapa tahun lagi, ketika Jokowi sedang enak-enaknya berlibur menikmati duit dan fasilitas pensiun. Tinggal rakyat yang ketiban petakanya.
Kalau begini ceritanya, apa jeniusnya presiden ini?
[***]