BANYAK intelektual yang masih percaya bahwa Presiden Jokowi akan mampu atasi masalah besar yang dihadapi bangsa. Kami yang sejak awal kritis terhadap Jokowi dianggap underestimate terhadap Jokowi dan sering dikuliahi oleh pembela-pembela Jokowi.
Berkali kali kami katakan bahwa persoalan bangsa kita bukan semata pada figur pemimpin atau presiden, tapi ada masalah berat pada sistem. Kami sering menganalogikan dengan mobil. Sebagus apapun supirnya, mobil Indonesia ini ada masalah di mesin, AC dan lain-lain.
Jadi yang dibutuhkan supir dengan tim montir yang membenahi sistem mobil ini. Apakah supir Jokowi bisa merangkap montir? Kami mungkin sangsi karena SIM B saja mungkin belum punya. Itulah esensi yg membedakan cara pandang kami dengan sebagian teman terhadap Jokowi. Jadi tak ada ketidaksukaan pribadi kami terhadap Jokowi.
Beberapa waktu yang lalu kami pernah tulis fakta atau indikasi bahwa ada masalah serius dalam ketatanegaraan kita yang sangat mempengaruhi output kita sebagai bangsa dan juga mempengaruhi presiden.
Banyak orang orang pintar dan baik tetapi tidak terserap oleh sistem ketatanegaraan kita. Tapi banyak orang yang biasa-biasa saja bahkan bermasalah bisa mendapat posisi menentukan. Salah satu sebabnya karena ada yang kurang baik dalam sistem kepartaian.
Sudah belasan tahun kita punya lembaga tinggi negara seperti DPD. Bukan salah anggotanya mereka tidak berfungsi optimal tetapi sistemnya yang tidak jelas sehingga praktis negara mengeluarkan biaya untuk tugas simbolik saja. Ini pun bisa dibedah panjang lebar.
Pada saat pemilu legislatif, semua caleg bernyanyi tinggi gunung seribu janji. Karena memang lidah tak bertulang. Mereka dipilih langsung oleh rakyat. Sampai di Senayan yang dominan diperjuangkan adalah suara partai karena distel oleh lembaga fraksi. Partainya disetel oleh pemilik modal. Sehingga kami pernah tulis demokrasi kita, dari rakyat, oleh rakyat untuk konglomerat.
Tak ada yang salah dengan kader partai dan caleg tapi lagi-lagi sistemnya. Lebih gila lagi wakil rakyat bisa digusur dari Senayan oleh partai. Tentu saja semua situasi tersebut mempengaruhi output DPR yang berkaitan dengan fungsi pengawasan, legislasi dan anggaran. Tentu saja sangat merugikan rakyat dan bangsa serta negara secara keseluruhan sebagai sebuah sistem.
DPR punya kewenangan lain yakni melakukan fit and proper test terhadap calon hakim agung, calon gubernur BI, calon kapolri, calon panglima TNI, calon dubes, calon komisioner KPK dan lain-lain. Padahal rekrutment calon anggota DPR saja oleh partai masih dipertanyakan kualitasnya. Tiba-tiba mereka menjadi penguji untuk jabatan strategis negara.
Sehingga yang terjadi sandiwara dibiayai negara. Tak ada yang salah dengan anggota DPR, tapi sistem itu aneh. Dan untuk keanehan itu negara mesti membayar. Meskipun ada yang menyatakan bahwa peran DPR tersebut untuk memberi legitimasi bahwa pejabat penting tersebut sudah dapat stempel dari rakyat melalui wakilnya. Namun tetap mengandung keanehan apalagi kalau direfer ke UUD 45 yang disahkan 18 Agustus 1945 dimana kewenangan mengangkat pejabat pejabat tinggi tersebut merupakan ekslusif kewenangan Presiden.
Secara teoritis Presiden butuh grip yang kuat ke propinsi dan daerah, untuk menyukseskan program yang disampaikan saat kampanye. Oleh sistem otonomi dan demokrasi liberal, Presiden bisa berbeda partai dengan gubernur/bupati/walikota. Dalam banyak kasus, terkadang gubernur atau bupati lebih loyal kepada ketua partai daripada ke Presiden. Atau bupati sering mengabaikan arahan gubernur dan lain-lain. Tidak tegas rantai komando kepemimpinan. Bagaimana bisa menjadi presiden atau gubernur efektif kalau situasinya seperti itu. Lagi-lagi ini masalah kesisteman.
Setelah amandemen UUD 45 tidak dikenal lagi lembaga tertinggi negara yakni MPR RI. Semua menjadi Lembaga Tinggi Negara (LTN). Praktis LTN seperti Lembaga Kepresidenan, MA, BPK, DPR, DPD, MK, KPK dan lain-lai jadi kerajaan masing2-masing. Egosentrisme lembaga mengental. MPR sebagai tempat mempertanggungjawabkan tugas di masa akhir jabatan tidak diperlukan.
Rakyat tidak tahu apa kerja mereka, tahu-tahu bubar jalan. Presiden yang memimpin 250 juta rakyat cukup di SK-kan oleh KPU. Selesai tugasnya tidak merasa perlu pamit secara terhormat di depan MPR. Ya aneh saja. Sistem ini hemat kami tidak membangun rasa bertanggung jawab. Mau berhasil atau gagal. Tidak ada reward dan punishment. Tidak ada yang perlu dirisaukan. Malah bisa ikut pilpres atau kontes lagi.
Belum lagi bila bicara sistem ekonomi yang super liberal. Sejak LoI ditandatangani hingga lahir 115 UU yang diarahkan asing (Bank Dunia dan kawan-kawan), Indonesia praktis tidak berdaulat lagi dalam SDA, Perbankan, Tanah, Air , Retail dan lain-lain. Ambil contoh perbankan, kalau Pemerintah mau membangun proyek besar, bank-bank dikuasai asing, apa mungkin bisa dapat supporting dana. Padahal bank asing kerjanya menyedot sumber daya keuangan rakyat Indonesia bagaikan vacum cleaner menyedot debu. Banyak yang disedot dan diputar di Indonesia lagi. Selebihnya diputar di negeri yang lebih menguntungkan.
Sistem ekonomi neoliberal merusak sistem politik negara berdaulat. Mekanisme dan institusi demokrasi, seperti pemilihan umum, lembaga perwakilan rakyat, dan partai politik, dimanipulasi sedemikian rupa sekedar sebagai alat menciptakan konsensus dengan rakyat. Sementara proses pengambilan keputusan politik secara real diambil alih oleh institusi-institusi global yang tidak pernah mendapat mandat rakyat, seperti IMF, Bank Dunia, WTO, dan lain-lain.
Kalau saya bertanya apakah bergabungnya Indonesia ke Masyarakat Ekonomi ASEAN atas persetujuan rakyat? Pasti jawabannya bingung. Sejak kapan rakyat ditanya. Dalam kampanye pemilu pun tak ada caleg yang bertanya. Tahu-tahu rakyat dicemplungin aja. Entah akan jadi apa rakyat Indonesia di MEA, ora mikir.
KPK dibentuk oleh DPR dan Pemerintah dengan UU. Pada saat UU mau diperbaiki terkesan KPK “melawan” dengan berbagai cara lewat LSM yang mereka bina. Bahkan pernah mempermalukan Presiden ketika Presiden mengajukan calon Kapolri dengan buru-buru mentersangkakan calon Kapolri.
MK dipilih oleh DPR dan disahkan dengan SK Presiden. Tapi 9 orang itu bisa membatalkan UU yang disahkan 560 orang anggota DPR dan disetujui Presiden. Saya bukan ahli hukum. Cuma merasa aneh saja.
Kalau saya tulis semua tentang keanehan dan masalah sistem ketatanegaraan pasca reformasi pasti tidak cukup 50 halaman. Saya tidak tahu apakah para profesor perancang amandemen UUD45 menyadari atau tidak fakta-fakta ini.
Oleh M.Hatta Taliwang, Direktur Institut Soekarno Hatta (ISH)