PERISTIWA penusukan atau percobaan pembunuhan Menkopolhukam Wiranto di Alun-alun Menes, Pandeglang 10 Oktober lalu yang dilakukan oleh pasangan Syahril Alamsyah atau Abu Rara dan istrinya Fitri Andriyana merupakan peristiwa besar dan bersejarah.
Keberanian luar biasa dengan senjata pisau “Naruto” melakukan aksi menerobos pengawalan. Wiranto di RSPAD dioperasi usus 40 cm. Dijenguk pejabat. Mengingat transparansi minim peristiwa ini menjadi kontroversi. Apalagi pelaku sudah dipantau intelijen selama 3 bulan.
Kini hampir akhir Oktober seperti hilang jejak peristiwa. Sudahkah kedua pelaku sampai proses hukum P-21 hingga memasuki tahap pemeriksaan Kejaksaan?
Masyarakat ingin mengikuti proses peradilan kasus langka dan istimewa ini. Apalagi dikaitkan dengan organisasi teroris Jamaah Anshorud Daulah (JAD) Bekasi.
Keterbukaan penting agar kontroversi tak berkembang. Tidak terlalu sulit untuk menyidik dan memproses. Alat bukti ada, saksi banyak. Terekam dan beredar pula video di media sosial.
Ini adalah delik penganiayaan berat Pasal 351 ayat (2) KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun. Atau percobaan (poging) pembunuhan Pasal 53 (1) KUHP Jo Pasal 340 KUHP.
Jelas unsurnya ada niat, tindakan pendahuluan, dan tidak selesai bukan karena diri sendiri. Jadi sangat clear dan terpenuhi unsur unsur deliknya. Artinya ini merupakan kasus mudah untuk proses pembuktian.
Atas kasus ini di samping berdoa agar Wiranto dapat cepat pulih kembali, juga dapat tersampaikan progres pengusutan. Pentingnya kasus seperti ini cepat tuntas karena beberapa alasan.
Pertama, korban bukan orang sembarangan melainkan orang penting Menko bidang politik, hukum dan keamanan. Pejabat yang semestinya terkawal baik.
Kedua, perhatian bukan tingkat lokal semata tapi sudah dunia. Ini kasus besar seorang Menteri ditikam pisau. Di suasana politik menuju pelantikan Presiden. Di tengah aksi aksi unjuk rasa pula.
Ketiga, pelaku diindikasikan jaringan terorisme yang dihubungkan dengan agama Islam. Bahkan dengan identitas mencolok “celana cingkrang”, “berjanggut” dan “berjilbab”. Pelaku pun sudah dipantau dan diikuti 3 bulan lamanya.
Keempat, proses hukum yang sangat mudah karena alat bukti dan saksi yang lebih dari cukup. Tidak layak menjadi kasus yang menguap.
Kelima, momen pembuktian aparat yang serius dan jujur di tengah gelapnya kasus kasus pidana lain seperti tewas ratusan petugas Pemilu, tertembak pengunjuk rasa, serta hilang misterius peserta aksi.
Publik sedang menunggu kelanjutan pengusutan kasus percobaan pembunuhan ini.
Dengan harapan bukan sandiwara, maka pelaku yang tertangkap dapat berbicara mengenai motif atau jaringan yang mengendalikan aksi aneh ini melalui lembaga pengadilan yang terbuka.
Mari ikuti dengan seksama. Pak Wiranto sendiri sudah “terbunuh” kariernya. Beliau tidak jadi nenteri lagi karena sudah digantikan oleh Bapak Mahfud yang kini memiliki senjata “veto”.
Semoga Pak Menko tidak terancam oleh penjahat sama yang berpisau “Naruto”.
Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik, tinggal di Bandung