Catatan ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
ELIT kekuasaan hari ini hidup di dalam diskontinuitas sejarah. Arogansi kekuasaan dan kapasitas amatiran yang terus dipertontonkan bisa menyebabkan negeri ini terjerembab, mengikuti jejak nasib seperti Sri Lanka.
Diskontinuitas sejarah ialah mindset seakan sejarah terpotong-potong antara satu dengan yang lainnya, seakan tiada saling berhubungan, dan seakan-akan peristiwa-peristiwa buruk di dalam sejarah tiada pula bisa dijadikan contoh untuk memperbaiki keadaan hari ini dan masa depan.
Malapetaka politik yang terjadi di Sri Lanka saat ini pemicunya memiliki kemiripan dengan apa yang sedang berlangsung di negeri ini sekarang.
Tokoh nasional Dr Rizal Ramli misalnya telah secara jelas menyampaikan faktor-faktor yang menyebabkan kehancuran Sri Lanka.
Antara lain karena penguasanya ugal-ugalan dalam membangun proyek-proyek infrastruktur tanpa perencanaan yang matang, yang dibiayai oleh pemerintah China. Sehingga tiada sanggup bayar utang yang menyebabkan kebangkrutan.
Hal ini memiliki kemiripan dengan yang terjadi di negeri ini saat ini.
Faktor lain ialah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang kian ugal-ugalan, tiada malu, dan menabrak etika.
Di negeri ini, saat ini praktek korupsi, kolusi dan nepotisme telah menumbuhkan dinasti baru, dengan pemain-pemain baru yang lebih brutal yang berporos di pusat kekuasaan.
Kesamaan inilah yang nampak antara Sri Lanka dan Indonesia saat ini, meski diperlukan analisis lebih jauh dan lebih mendalam lagi. Namun gambaran ini bukan sebuah simplifikasi, karena keduanya memiliki gejala yang sama, yang secara esensial watak penguasanya sama-sama doyan ugal-ugalan.
Lebih jauh tentang praktek KKN yang kian masif dan menumbuhkan dinasti baru, tokoh nasional Dr Rizal Ramli di akun twitter-nya belum lama ini juga menulis:
“Sudah jadi trend bagi pejabat di republik ini memanfaatkan jabatan dan kekuasaan untuk mempromosikan istri, suami, anak, cucu, adik, menantu, ipar, meskipun mereka sesungguhnya belum mampu menjadi pejabat. Hal ini dianggap lumrah, dengan memakai berbagai alasan pembenaran”.
Diskontinuitas sejarah, arogansi, dan kapasitas amatiran yang melanda para elit kekuasaan hari ini telah menjauhkan mereka untuk belajar dari contoh-contoh buruk yang pernah terjadi di dalam sejarah, agar negeri ini terhindar dari kondisi yang kian fatal.
Apa yang dialami oleh Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, yang jatuh dengan cara hina karena desakan rakyatnya sendiri, adalah contoh terbaru dari kejadian yang pernah dialami pula oleh Ferdinand Marcos dari Filipina, Augusto Pinochet dari Chili, Idi Amin dari Uganda, Nicolae Ceausescu dari Rumania, bahkan Benito Mussolini dari Itali, yang digantung terbalik oleh rakyatnya sendiri.
Di negeri ini kita memiliki pula catatan pengalaman yang menggetirkan dari kejatuhan Sukarno dan Soeharto.
Nulla potentia in perpetuum, tiada kekuasaan yang abadi, begitulah kata ungkapan Latin.
Imperium Majapahit yang super power pada masanya, runtuh. Kejatuhannya dilukiskan sebagai Sirna Ilang Kerta Ning Bhumi.
Pajajaran berakhir, digambarkan dalam ungkapan Burak Runtag Sirna Ing Bhumi.
Bahkan rezim Hindia Belanda yang menjalankan kekuasaan dengan arogansi dan penindasan selama ratusan tahun akhirnya terjungkal.
Maka menangislah biduanita Wieteke Van Dort, di dalam syair lagunya yang penuh ratapan, Poor Den Haag.
“ … Poor Den Haag. So sad that it’s over now, it’s all over. Den Haag, Den Haag, you’re the widow of Indonesia now …”.
Petuah luhur Jawa senantiasa menasihatkan kita supaya eling lan waspada, dan ambeg parama arta.
Karena hukum Tuhan berlaku bagi kekuasaan yang jahat kepada rakyatnya, yang terungkap pula di dalam petuah Jawa yang luhur:
Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti, kebenaran dan cinta kasih akan menang terhadap kekuatan yang merusak.
[***]