KedaiPena.Com – Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Inas Nasrullah Zubir mengaku, sangat merasakan kepentingan asing dalam aksi semen kaki yang dilakukan oleh Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK).
Pasalnya, kata Inas, sebenarnya hampir semua masyarakat yang bertempat tinggal di dekat pembangunan pabrik semen (Rembang) setuju dengan adanya pembangunan tersebut.
“Jadi kan sebenarnya hanya beberapa ratus orang saja yang menolak (pembangunan), 90 persen sebenarnya masyarakat sudah setuju, lagi pula mereka mayoritas masyarakat dari Pati. Yang lebih aneh kenapa mereka tidak meributkan PT Sahabat Mulia Sakti (SMS), anak perusahaan PT Indocement,” papar Inas kepada wartawan di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, belum lama ini.
“Saya merasa ada kepentingan korporasi asing dan hal itu dikarenakan ada persaingan bahan baku asing, PT Indocement takut. Karena, kan pembangunan pabrik berdekatan. Sekarang baru dimainkan isu-isu ini. Lagi pula kan sebenarnya mereka bisa mengajukan RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) ke Komisi VI dahulu sebelum ke Istana,” sambung Inas.
Di jelaskan Inas, jika memang mau mempermasalahkan pembangunan pabrik semen itu. Seharusnya saat Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) memimpin. Sebab, di era SBY-lah pemberian izin tersebut dilakukan.
“Jangan sekarang, uang negara sudah dilontarkan dan mau membunuh begitu saja. Ini kan sama saja kan mau membunuh negara, membunuh rakyat. Karena, kan pemerintah kan mengolontorkan uang Rp5 triliun kepada PT Semen Indonesia untuk membangun pabrik semen di Rembang juga menggunakan uang rakyat juga,” beber Inas.
Maka dari itu, lanjut politikus Hanura ini, sebaiknya para demonstran menunggu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo, untuk mengetahui apa sebenarnya sumber masalah dan alasan utama permintaan diberhentikanya pembangunan pabrik tersebut.
“Sebenarnya yang menjadi masalah utamanya katanya air tanah, apakah betul air tanah akan hilang. Padahal petani di sana sudah menjawab penambangan tanah di sana sudah tahun 1994, dan sebenarnya tidak ada persoalan,” pungkas Inas.
Laporan: Muhammad Hafidh