KedaiPena.com – Kasus tumpahan minyak Montara, yang saat itu mengalirkan 23 juta liter minyak ke Laut Timor, menyebabkan PTT Exploration and Production (PTTEP) menyetujui melakukan ganti rugi senilai sekitar Rp2 triliun.
Tapi bukan berarti penelitian atas tumpahan minyak ini dapat berhenti saat dana ganti rugi dari perusahaan asal Thailand itu diberikan pada pemerintah Indonesia. Karena pantauan harus terus dilakukan, sesuai aturan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) hingga 30 tahun sejak kejadian perkara.
Ahli Oseanografi Terapan dan Manajemen Pesisir, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Widodo Setiyo Pranowo menyatakan sebaran tumpahan minyak tergantung kepada tingkat kekentalan minyak, kecepatan dan pola arus, serta kecepatan dan pola tiupan angin di permukaan laut.
Minyak yang mengambang atau terapung di permukaan laut akan mendapatkan dua gaya dorong, yakni gaya dorong dari angin dan gaya dorong dari arus.
“Jadi, minyak yang mengambang atau terapung di permukaan laut akan memiliki bidang kekasaran tertentu yang memudahkan angin turut mendorong minyak untuk menyebar. Setiap minyak yang dihasilkan dari sumur pengeboran bisa memiliki karakter tertentu, terutama tingkat kekentalan dan komposisi rantai carbonnya,” kata Widodo.
Ia menjelaskan saat minyak mengapung atau mengambang di permukaan laut pada siang hari, minyak juga akan mengalami foto-oksidasi yang kemudian menguap atau mengalami evaporasi. Degradasi minyak tersebut akan menghasilkan lapisan lapisan film di permukaan laut.
“Minyak juga bisa melayang di kolom air, ketika ada arus turbulensi yang mengaduk minyak. Kemudian ter-adveksi oleh arus horisontal lalu menyebar sesuai pergerakan arus,” paparnya.
Ia menyatakan selama minyak tersebut belum diambil dari laut, masih mengambang atau terapung di permukaan laut dan/atau ter-turbulensi oleh arus, maka akan semakin tersebar jauh oleh kekuatan arus dan angin.
“Sehingga probabilitasnya semakin tinggi terdistribusi ke wilayah laut lainnya. Dan semakin kental minyak, akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terdegradasi,” paparnya lagi.
Widodo menyebutkan pantauan sebaran Minyak bisa dilakukan melalui teknologi satelit radar, teknologi laser foto udara, dan juga pengambilan sampel air untuk diuji lab tentang kandungan rantai karbonnya.
“Apabila teknologi satelit radar dan laser foto udara sudah tidak bisa mendeteksi keberadaan minyak di permukaan laut lagi, maka belum tentu minyak tersebut sudah hilang sama sekali. Jadi bisa saja minyak tersebut sudah terencerkan oleh air laut. Uji laboratorium tentang kandungan rantai karbon di air laut dapat dilakukan untuk pembuktian,” ungkap Widodo.
Ia menyebutkan survei atas kasus Montara sudah dilakukan sejak 2009 oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Saat saya terlibat pada 2016 dan melakukan survei, masih ditemukan sisa dari minyak Montara. Begitu pula pada survei lanjutan, hingga tahun 2019, Masih ada ditemukan evidence Montara,” ungkapnya.
Widodo menekankan bahwa dalam kasus tumpahan minyak, sesuai aturan UNCLOS, pantauan harus terus dilakukan hingga 30 tahun sejak kejadian perkara.
“Jadi Montara itu kan tahun 2009. Sesuai UNCLOS maka pantauan harus dilakukan hingga tahun 2039. Tapi banyak kejadian yang tidak dipantau hingga sesuai ketentuan waktu tersebut. Mayoritas Karena faktor dana risetnya,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa