KedaiPena.Com – Kordinator Program Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menyatakan penyematan status terduga pada seseorang terkait kasus dugaan terorisme menyesatkan.
“Tidak ada (istilah terduga, red). Itu belum ada istilahnya,” ujarnya Ibrani saat dihubungi di Jakarta, Kamis (29/6).
Soalnya, UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merupakan acuan untuk menyematkan status terhadap seseorang dalam peristiwa pidana, tidak memuatnya.
Dengan demikian, sepatutnya penanganan terhadap seseorang yang berstatus terduga tidak dibenarkan. Kalau dilanjutkan, bisa berujung pada kecacatan proses hukum, termasuk bakal merugikan penegak hukum itu sendiri.
“Karena tidak ada normanya, maka tidak ada aturan yang mengatur. Artinya, bisa berbuat apa saja, dalam konteks negatif, dalam konteks positif,” bebernya.
Julius menambahkan, istilah terduga pun tidak tercantum dalam UU No. 15/2003 tentang Penetapan Perppu No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Antiterorisme).
Terminologi terduga baru muncul pada UU No. 9/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Sayangnya, tidak memuat definisi yang jelas.
Sepaturnya, jika mengacu pada KUHAP, seseorang yang diduga menetahui suatu peristiwa pidana, maka disebut sebagai saksi. Polisi berhak melakukan pemeriksaan terhadapnya.
Bila nantinya ditemukan dua alat bukti yang cukup, status saksi bisa ditingkatkan menjadi tersangka. Dengan kata lain, penyidik menduga seseorang ini sebagai pelaku kejahatan.