KedaiPena.Com – Masyarakat Internasional telah menyaksikan kembali terjadinya tragedi kemanusiaan di Myanmar, sepanjang bulan Oktober-November 2016. Pemerintah dan Militer Myanmar serta kelompok etnis Myanmar lainnya melakukan dan membiarkan terjadinya kekerasan, pembunuhan massal, perampasan dan pengusiran terhadap etnis Rohingya di Rakhine State (Arakan), Myanmar.
“Walaupun sebelumnya telah terjadi provokasi dari pihak-pihak yang mengklaim sebagai memperjuangkan hak-hak etnis Rohingya, namun respon Pemerintah dan Militer Myanmar telah melampaui batas-batas yang wajar serta mengabaikan ketentuan-ketentuan internasional mengenai perlindungan hak-hak warga sipil dalam konflik bersenjata,” kata Presiden PKS, Mohamad Sohibul Iman, dalam keterangan yang diterima KedaiPena.Com ditulis Jumat (25/11).
Hal ini menyebabkan bertambahnya beban dan penderitaan etnis Rohingya berupa kehilangan nyawa, harta, rumah dan terusir dari tanah mereka. Laporan-laporan yang kredibel secara terbuka telah menyebutkan bahwa desa-desa yang dibakar, ratusan jiwa tewas (dan jika diakumulasi dengan peristiwa-peristiwa serupa pada tahun-tahun sebelumnya) ratusan ribu orang lainnya terusir dari kampung halaman dan hidup terlantar sebagai pengungsi.
Kekerasan, pembunuhan massal, perampasan dan pengusiran tersebut di atas sesungguhnya telah dilaporkan secara berkala oleh masyarakat internasional semenjak Myanmar merdeka dari penjajahan Inggris. Namun belum mendapat respon yang memadai dari Pemerintah Myanmar, bahkan kualitas dan upaya perlindungan HAM bagi etnis Rohingya di Myanmar semakin memburuk.
“Kita menyadari bahwa upaya menjunjung prinsip “non-intervention†yang dipegang oleh masyarakat internasional yang beradab tidak boleh mengabaikan tanggungjawab para pihak untuk melindungi warga sipil dalam konflik bersenjata (Responsibility to Protect) dan kewajiban para pihak untuk melakukan upaya-upaya pencegahan terjadinya genosida (Prevention of Genocide) sehingga “humanitarian intervention†untuk menjamin hak-hak warga sipil dalam konflik bersenjata di Myanmar tidak boleh ditunda,” sambung dia.
Dengan demikian, menghormati prinsip “non-intervention†tidak perlu diartikan sebagai mengenyampingkan “humanitarian intervention†agar keselamatan dan hak-hak warga sipil dalam konflik bersenjata di Myanmar dapat terjamin dan terpelihara.
Laporan: Anggita Ramadoni