Artikel ini ditulis oleh Syafril Sjofyan, Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78.
Konflik warga etnis Melayu dengan aparat di Rempang pada tanggal (7/9/2023) di Pulau Rempang merupakan Skandal Nasional yang memalukan martabat bangsa Indonesia di mata dunia. Tindakan sewenang-wenang Rezim Jokowi melakukan pengosongan Pulau Rempang dengan memindahkan penduduk asli yang telah ada secara turun temurun ke Pulau Galang dengan “kekerasan” melalui pengerahan aparat gabungan.
Menggunakan perlengkapan taktis membombardir dengan gas airmata, seperti menghadapi huru hara para perusuh. Menyebabkan rakyat Melayu Rempang termasuk anak-anak jadi korban baik secara fisik dan psikis. Merupakan perilaku yang merusak sendi-sendi moral mengarah kepada pelanggaran HAM.
Perbuatan ilegal pemerintah Jokowi diawali “kebohongan” menyatakan investor dari China Xinyi Glass terbesar di dunia dan yang akan dibangun di Pulau Rempang menjadi pabrik terbesar no. 2 di dunia. Bla, bla disertai dengan janji muluk.
Ternyata Xinji Glass dari China bukan pabrik terbesar didunia. Ada sepuluh besar pabrik kaca di dunia tidak termasuk Xinji. Secara equity perusahaannya juga tidak mempunyai kemampuan untuk menggelontorkan investasi dana sebesar 170 Triliun apalagi 381 trilyun. Nah lho!
Aneh bin ajaib memang. Badan Pengelola Batam (BP Batam) yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah Pusat. Telah menyerahkan pengelolaan pulau tersebut kepada PT MEG. Pada hal PT MEG pada tahun 2004 pernah diperiksa korupsi 3,6 trilyun sampai saat ini belum ada kejelasan proses hukumnya.
Penyerahan izin kepada PT MEG untuk mengelola “Rempang Eco City” jelas tidak memenuhi proses perizinan yang layak. Rekomendasi DPRD Batam 2023 yang merujuk pada kerjasama PT MEG tahun 2004 selain dipaksakan juga cacat hukum, berpotensi besar adanya tindak korupsi dan praktek-praktek tidak etik.
Menurut Ombudsman RI sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pulau Rempang belum dimiliki BP Batam. Alias belum diterbitkan HPL dengan alasan lahan belum clean and clear karena masih dikuasai oleh masyarakat, penduduk pribumi asli Melayu yang sudah menghuni secara turun temurun. Pertanyaannya, atas dasar apa BP Batam memberikan pengelolaan pulau Rempang kepada PT MEG.
Kemudian secara mendadak tanpa dasar hukum yang kuat. Keluar Kepmenko Perekonomian Airlangga Hartarto No. 7 tahun 2023 tanggal 28 Agustus 2023 menjadikan proyek “Rempang Eco City” sebagai Program Strategis Nasional (PSN). Tindak lanjut hasil pertemuan Presiden RRC Xi Jinping dengan Presiden Jokowi. Hanya untuk pendirian Pabrik Kaca dan Solarsel, tentu tidak mempunyai kebutuhan lahan seluas pulau Rempang.
MoU dengan China melalui Proyek kerjasama PT MEG dengan Xinyi Group, ternyata “bersyarat” dengan “pengosongan” pulau Rempang dengan adanya batas waktu. Ini jelas sangat merendahkan kedaulatan bangsa Indonesia, serta patut dicurigai sebagai invasi China berkedok Investasi.
Hanya berdasarkan kerjasama investasi. Pemerintah Jokowi tega “memaksa” pengosongan pulau Rempang. “Mengusir” penduduk asli pulau Rempang yang berada di 16 titik kampung tua. Mereka sudah ada sejak abad ke 18 menghuni dan menjaga pulau tersebut dari penjajahan Belanda dan pencaplokan dari Negara tetangga.
Kemudian Pulau Rempang menjadi bagian dari NKRI sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai sekarang sudah 78 tahun. Mereka hidup secara tenteram aman dan damai. Sungguh keterlaluan mereka para penduduk pribumi pulau Rempang sekarang tidak lagi merdeka.
Mereka penduduk Rempang “terusik/ tertekan” tidak tenteram dan “akan terusir” baik secara “pelan/ bujukan” maupun “paksaan” oleh ulah rejim Jokowi. Pemerintah Jokowi memang sangat pro investasi tanpa peduli terhadap lingkungan dan sosial kemanusiaan.
Konon pada Pilpres 2019 dengan janji manis tentang pemberian sertifikat Presiden Jokowi memenangkan suara yang besar di Batam khususnya pulau Rempang. Cara paksaan terhadap penduduk pulau Rempang berujung demo masyarakat Melayu di kantor BP Batam.
Berikut karena “tekanan besar” dari berbagai ormas seperti Muhammadiyah, NU dan MUI yang menolak dan menghentikan “pengusiran rakyat Melayu dari pulau Rempang” serta banyaknya unjuk rasa masyarakat diberbagai kota besar di Indonesia mendukung perjuangan rakyat Rempang supaya tidak diusir dari tanah mereka.
Pemerintah Jokowi “terpaksa” sementara “mengalah” hanya mengeser 5 kampung tua, namun belajar dari nasib rakyat asli di Pulau Komodo karena adanya investasi, lambat laun kehidupan mereka merana, karena mereka “sulit atau dibuat sulit” mencari nafkah akhirnya dengan “terpaksa” mereka meninggalkan pulau tersebut. Mengenaskan.
Mereka swasta asing dimungkinkan bisa berbuat seenaknya terhadap pulau Rempang tanpa dapat di ketahui lagi oleh penduduk asli. Bahkan memungkinkan terjadinya tindak pidana pencucian uang atau money laundering oleh para taipan konglomerat hitam.
Hal ini, jika dikaitkan dengan keinginan rejim Jokowi mengajukan RUU untuk melegitimasi HGU 2 x 90 tahun. Selama 180 tahun HGU swasta asing akan hidup bebas “berkuasa” di pulau Rempang yang kosong.
Tenaga asing diatur oleh investor akan hadir dengan kemudian selama masa tersebut mereka akan mempunyai banyak keturunan. Patut dicatat, jika pulau dikosongkan artinya pribumi sudah tidak ada.
Sekian lama asing memiliki HGU yakni selama 180 tahun investor China membangun infrastruktur mereka berbuat apa saja terhadap pulau tersebut. Secara lambat laun tapi pasti pemerintahan RI dikemudian hari (anak dan cucu) akan “terpaksa” melepas pulau Rempang tersebut. Karena tidak ada lagi pribumi berada dipulau tersebut. Tentu ini pelan tapi pasti merupakan Invasi China yang berkedok investor. Sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI.
Sebenarnya keinginan rejim Jokowi dengan HGU yang sangat lama bagi para investor asing berusaha di pulau Rempang dan PSN daerah lainnya termasuk di IKN. Menetapkan HGU melalui Kepres & Inpres melanggar dan bertentangan dengan UU No. 5 tahun 1960 dan putusan MK No. 21-22/ 2007 serta melanggar UUD 45. Namun karena ambisi. Maaf tidak terkendali. Melanggar Konsitusi. Bisa berakibat fatal bagi Indonesia akan “terjajah” kembali terutama oleh asing China.
Sepertinya, banyak kebijakan Pemerintahan Jokowi yang telah melanggar konstitusi yang membahayakan keutuhan NKRI serta memberikan kemudahan bagi Negara Asing untuk mencaplok Indonesia.
Harus disadari sepenuhnya oleh para tokoh nasional, sehingga perlu memberdayakan para anggota lembaga legislatif dan partai untuk “punya keberanian” meminta pertanggungjawaban Presiden Jokowi. Sesegera mungkin.
Bandung, 28 September 2023
[***]