KedaiPena.Com – Kegagalan pemerintah dalam urusan narkotika harus menjadi perhatian. Pemerintah harusnya sadar bahwa ada hal besar terkait dengan reformasi kebijakan narkotika yang harus diperhatikan, bahwa tidak ada satupun negara di dunia berhasil menangani penyalahgunaan narkotika dengan menghukum pengguna narkotika.
Demikian disampaikan Erasmus Napitupulu Direktur Program ICJR dalam keterangan pers, Rabu (6/3/2018).
Pada Minggu, 3 Maret 2019 lalu, Politisi Partai Demokrat Andi Arief tertangkap karen diduga mengkonsumsi narkotika. Di tengah masa kampanye saat ini, pembincangan mengenai ditangkapnya Andi Arief menjadi komoditas politik yang justru digunakan untuk saling serang.
“Perlu diketahui bahwa dalam catatan pemberitaan media, Andi Arief bukan satu-satunya politisi yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, beberapa politisi terlepas dari posisinya sebagai oposisi maupun pendukung pemerintah pernah menjadi korban penyalahgunaan narkotika. Sayangnya isu yang diperdebatkan kemudian justru menjadikan penggunaan narkotika sebagai komoditas politik yang meneruskan stigmatisasi buruk bagi penggunaan narkotika dan justru mendukung penggunaan hukum pidana untuk menyelesaikan penyalahgunaan narkotika,” papar Erasmus.
Padahal dengan makin banyaknya korban penyalahgunaan narkotika terjerat dalam pidana penjara menandakan bahwa terdapat kesalahan dalam kebijakan narkotika di Indonesia. Pemerintah Indonesia, sampai dengan hari ini jelas menjadi salah satu contoh gagalnya kebijakan buruk penanganan narkotika yang lebih mengedepankan pemidanaan dari pada kesehatan masyarakat.
“Pendekatan yang digunakan Indonesia untuk menangani masalah narkotika selama ini hanya berfokus pada kontrol penawaran atau supply control, dengan mempropagandakan perang terhadap narkotika termasuk menghukum pidana penjara pengguna narkotika dalam jumlah dan kondisi apapun. Padahal visi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah merujuk mengenai pendekatan kesehatan yang terbukti lebih ampuh mengatasi persoalan narkotika,” lanjut dia.
UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika berisi pasal karet yang justru mengirim pengguna narkotika ke penjara, tanpa adanya akses rehabilitasi, dan membuat pengguna narkotika semakin terjerat oleh penyalagunaan narkotika. Jaminan rehabilitasi yang diatur dalam UU Narkotika pun tidak membuat pengguna narkotika bebas dari ancaman pidana penjara. Berdasarkan riset ICJR pada 2012, ditemukan hanya 10% putusan Hakim Agung yang memberikan putusan rehabilitasi bagi pengguna narkotika.
“Selain itu, Riset ICJR, Rumah Cemara dan EJA pada 2015 di PN Surabaya menyatakan hanya 6% putusan hakim yang menempatkan pengguna narkotika ke tempat rehabilitasi. LBH Masyarakat pada 2015 menganalisis 522 putusan Hakim se-Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi) sepanjang 2014, hanya 43 orang yang diberikan putusan rehabilitasi,” lanjutnya
Penjara di tengah kondisi overcrowding, lemahnya pembinaan dan pengamanan lantas menjadi lahan subur bagi para bandar untuk melakukan peredaran gelap narkotika. Pemerintah terus mempropagandakan bahwa kebijakan narkotika yang punitif dengan menghukum pengguna narkotika akan efektif mengurangi penggunaan narkotika. Padahal, Negara-negara di dunia telah menyerukan bahwa pendekatan perang terhadap narkotika terbukti tidak efektif.
Dalam laporan Oktober 2018 yang disusun oleh jaringan 174 Organisasi Masyarakat Sipil di seluruh dunia yang menguji tentang kebijakan narkotika selama 10 tahun terakhir menyatakan bahwa kebijakan pelarangan narkotika lewat slogan war on drugs atau perang terhadap narkotika telah gagal mencapai tujuan untuk menghapuskan peredaran gelap narkotika.
“Dalam paparan data yang komprehensif, laporan ini menyimpulkan semangat perang terhadap narkotika telah membawa dampak peningkatan 145% kematian akibat narkotika, mencapai 450.000 kematian di tahun 2015,” dia menambahkan.
Statistik secara global menujukkan kebijakan punitif dalam narkotika termasuk kriminalisasi pengguna narkotika telah membawa terjadinya fenomena mass incarceration atau pemenjaraan secara massif dimana 1 dari 5 narapidana di dunia berasal dari tindak pidana narkotika dan sebagai besar untuk penggunaan personal. Hal ini pun terkonfirmasi dalam konteks Indonesia, Tercatat jumlah pengguna narkotika yang dikirim ke penjara terus meningkat setiap tahunnya.
Lewat kasus ini, dan kasus-kasus penghukuman pengguna narkotika lainnya, terlepas dari apapun latar belakang politiknya, Pemerintah harusnya sadar bahwa ada hal besar terkait dengan reformasi kebijakan narkotika yang harus diperhatikan, bahwa tidak ada satupun negara di dunia yang berhasil menangani penyalagunaan narkotika dengan menghukum pengguna narkotika. Kegagalan negara dalam menangani kasus narkotika sebaiknya dijadikan refleksi untuk merombak kebijakan narkotika yang berhaluan pidana, dengan mendekriminalisasi penggunaan dan kepemilikan narkotika untuk kepentingan personal demi mengembalikan pendekatan kesehatan masyarakat untuk menangani masalah narkotika.
Sebelumnya, politisi Partai Demokrat Andi Arief ditangkap oleh pihak kepolisian setelah diduga menggunakan narkoba jenis sabu. Andi Arief sendiri ditangkap bersama seorang perempuan di Menara Peninsula Hotel, Jakarta, Minggu (4/3/2019) malam.
Dari laporan yang dihimpun oleh KedaiPena.Com, Andi Arief sendiri diamankan oleh seorang perempuan saat diamankan timTim NIC Dittipidnarkoba Bareskrim Polri.
Sesaat sebelum penggerebakan terjadi Andi Arief sendiri diduga juga telah membuang barang bukti berupa shabu berserta bong ke kloset. Ada pula sebuah kondom dalam penggerebakan tersebut.
Meski demikian, tim NIC Dittipidnarkoba Bareskrim Polri beserta pihak hotel berhasil mengamankan bong yang sudah dibuang di kloset.
Dari laporan tersebut yang bersangkutan juga sangat terlihat jelas dalam kondisi menggunakan narkoba. Bahkan, Andi Arief sendiri enggan menolak untuk di test urine.
Foto Andi Arief di dalam sebuah sel beralasakan sebuah tikar plus kardus mendadak viral dijagat sosial media.
Kabareskrim Polri Komjen Idham Azis membenarkan bahwa anggotanya dari Direktorat Tindak Pidana Narkotika Bareskrim menangkap Andi Arief di sebuah hotel di wilayah Jakarta Barat.
Sementara itu Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga beranggapan bahwa apa yang terjadi kepada Andi Arief sebagai sebuah musibah.
“Atas penangkapan yang diduga saudara Andi Arief, kami menganggapnya sebagai sebuah musibah dan turut prihatin,” ungkap Direktur Advokasi dan Hukum BPN Prabowo-Sandiaga, Sufmi Dasco Ahmad, saat dimintai tanggapan, Senin (4/3/2019).
BPN Prabowo-Sandiaga berharap pemeriksaan terhadap Andi Arief dilakukan dengan profesional. Dasco juga mempertimbangkan BPN Prabowo-Sandiaga akan memberikan bantuan hukum untuk Andi Arief.
“Berdasarkan asas praduga tak bersalah, kami minta agar pemeriksaan dilakukan dengan profesional,” kata anggota Komisi III DPR yang membidangi hukum itu.
Laporan: Muhammad Hafidh