BEBERAPA waktu yang lalu beredar secara terbatas tulisan dari seorang tokoh senior Partai Golkar dari Indonesia Timur, yaitu Zainal Bintang. Ia mengatakan bahwa kemungkinannya cukup kuat Cawapres Jokowi untuk Pilpres 2019 dari Partai Golkar. Nominatornya adalah Jusuf Kalla dan Airlangga Hartarto.
Tentang kemungkinan Jusuf Kalla menjadi Cawapres Jokowi  2019 memang disebut oleh sekurangnya tiga politisi tingkat atas DPP PDIP, yaitu Puan Maharani, Ahmad Basarah dan Maruarar Sirait.
Bahkan ada kelompok masyarakat yang mengajukan uji materi UU Pemilu pasal 167 ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar Jusuf Kalla bisa menjadi Cawapres Jokowi 2019.
Memang belakangan ini ada isu yang cukup santer bahwa Jusuf Kalla ingin maju lagi sebagai Cawapres Jokowi pada Pilpres mendatang untuk mengamankan berbagai kepentingan elit politik yang sedang berkuasa.
Namun banyak ahli hukum tata negara yang menyatakan bahwa hal itu tidak mungkin karena Jusuf Kalla telah dua kali menjabat sebagai Wapres, walaupun tidak berturut-turut.
Refly Harun, ahli hukum tata negara dari Universitas Indonesia menyatakan JK tidak mungkin menjadi Cawapres Jokowi 2019 karena sudah dua kali menjabat sebagai Wapres, maka hal itu bertentangan dengan UUD 45 Pasal 7. Kecuali kalau JK tidak menyelesaikan masa jabatannya. Itupun bisa diperdebatkan.
Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi juga mengatakan hal yang sama. Demikian pula ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari. Sama dengan pakar dari Universitas Udayana Jimmy Z Usfunan, dan pakar dari Universitas Djember Bayu Dwi Anggono.
Sedangkan Yusril Ihza Mahendra dalam mengomentari adanya kelompok yang mengajukan uji materi soal pasal 167 UU Pemilu ke MK agar JK dapat menjadi Cawapres Jokowi 2019 mengatakan bahwa uji materi itu berat untuk dikabulkan oleh MK.
Melihat banyaknya para ahli hukum tata negara yang menolak kemungkinan JK jadi Cawapres Jokowi 2019 karena bertentangan dengan pasal 7 UUD 45, maka JK memang tidak mungkin menjadi Cawapres Jokowi 2019.
MK hanya mempunyai kewenangan untuk menguji kesesuaian UU dan perundangan di bawahnya terhadap UUD 45, namun MK sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk mengubah pasal-pasal dalam UUD 45.
Pasal 7 UUD 45 yang membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya bisa 2 kali masa jabatan tanpa menyebut berturut atau tidak. Artinya 2 kali yang tidak berturut pun tidak bisa dilanjutkan untuk yang ketiga kalinya. Tidak bisa diubah tanpa melalui amandemen UUD 45. Sedangkan melaksanakan amandemen UUD 45 amat sangat sulit diwujudkan.
Sementara Airlangga Hartarto Ketum Golkar saat ini yang juga menjabat sebagai Menteri Perindustrian dalam Kabinet Kerja Jokowi juga disebut atau didorong setidaknya oleh sebagian pengurus Golkar untuk menjadi Cawapres Jokowi 2019.
Jokowi sendiri seolah sengaja menggoda publik dengan beberapa kali tampil bersama Airlangga yang mengesankan mempunyai hubungan dekat, bahkan juga dengan memakai baju kuning yang merupakan warna simbolik Golkar.
Tetapi Jokowi juga beberapa kali tampil mesra di depan publik dengan Muhaimin Iskandar Ketum PKB yang rajin menyosialisasikan dirinya menjadi Cawapres Jokowi 2019. Dan juga pernah tampil di depan publik dengan Romahurmuziy Ketum PPP yang juga disebut oleh media mempunyai kans untuk menjadi Cawapres Jokowi 2019.
Secara hitungan politik, sangat sulit Airlangga Hartarto untuk menjadi Cawapres Jokowi 2019 karena dua hal.
Yang pertama yaitu AH baru pertama kali menjadi menteri, belum pernah berprestasi, bahkan belum pernah terlihat visinya tentang pembangunan industri kita yang sangat tertinggal dibandingkann dengan negara Asia lain.
Bahkan bila dibandingkan dengan pembangunan industri di jaman Orde Baru, AH juga belum pernah menjabat sebagai Menko.
Yang kedua yang lebih berat lagi Partai Golkar adalah “pendatang baru” sebagai partai pendukung Jokowi. Golkar bersama dengan PAN baru sekitar 2016 mendukung Jokowi dan mendapat hadiah kursi menteri. Sebelumnya pada Pilpres 2014 mereka mendukung Prabowo.
Selain itu Golkar sendiri saat ini sedang mengalami anjloknya elektabilitas akibat perpecahan di dalam dan terlibatnya Setya Novanto, ketum yang lama dalam korupsi skala besar e-KTP dan baru divonis 15 tahun sebulan yang lalu.
Hal seperti ini menghancurkan citra Golkar di mata masyarakat. Karena itu justru Golkar yang berkepentingan untuk menaikkan citranya dengan “menempelkan diri” ke Jokowi untuk mengangkat citranya.
Berbagai usaha dilakukan Golkar antara lain mengisukan AH akan menjadi Cawapres Jokowi 2019, membuat markas GOJO (Golkar-Jokowi) dan sebagainya, untuk memanfaatkan “aura” Jokowi.
Tetapi menurut hemat saya, Cawapres Jokowi 2019 tidak mungkin berasal dari partai politik. Selain kurangnya kompetensi, track record, visi untuk bangsa, calon dari partai juga akan menimbulkan kompleksitas masalah.
Calon tersebut akan menimbulkan kegaduhan satu partai dengan yang lainnya karena ada partai yang baru mendukung Jokowi, ada yang sudah lama mendukung. Ada partai yang lebih besar, ada yang lebih kecil dan sebagainya. Kegaduhan itu akan sangat mengganggu kinerja kabinet yang akan datang.
Secara kebutuhan obyektif yang diperlukan oleh Jokowi untuk mendampinginya pada Pilpres 2019 adalah yang bisa mengatasi masalah berat yang dihadapi bangsa saat ini dan di masa depan seperti masalah ekonomi.
Dolar Rp14000 dan masih bisa naik terus, dengan adanya gejolak ekonomi di Italia dan penaikan suku bunga di AS. Lalu pertumbuhan ekonomi yang rendah hanya 5 persen yang sudah memasuki tahun keenam dan tidak mampu menyerap angkatan kerja baru.
Lalu harga sembako yang stabil tinggi sehingga memberatkan kehidupan rakyat, pengangguran yang dibebani serbuan tenaga kerja asing dan sebagainya.
Kebutuhan Jokowi untuk didampingi oleh ekonom yang handal, banyak mempunyai prestasi dan track record yang cemerlang sangat besar. Apalagi kalau kita mau mengejar kemajuan negara Asia seperti Korea Selatan, Taiwan, Cina, Malaysia, Singapura dan sebagainya, kita harus mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi sampai 9 sampai 10% per tahun.
Oleh Abdulrachim, Pengamat Kebijakan Publik