KedaiPena.Com – Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah menilai kalau materi-materi kampanye, khususnya soal kesejahteran yang disampaikan petahana selama masa kampanye Pilpres 2019, tidak memiliki konsep membangun kesejahteraan rakyat yang masif.
Bahkan oleh petahana, permasalahan kesejahteraan seperti disederhanakan menjadi soal kartu-kartu seperti sebuah permainan domino.
“Kesejahteraan itu akarnya dalam. Tak bisa disederhanakan dengan kartu-kartu. Apalagi dalam materi kampanye, petahana mau tambah lagi kartu pra kerja, kartu diskon sembako,” sebut Fahri Hamzah kepada awak media, Selasa (9/4/2019).
Pimpinan DPR RI Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) itu memberi contoh soal kesehatan, dimana BPJS kesehatan defisit terus yang berakibat pada kualitas pelayanan yang rendah. Padahal itu dibutuhkan konsep untuk menyelesaikannya, butuh terobosan ide dan gagasan, bukan sekedar menambah jumlah kartu yang dicetak.
“Selama pemerintahan pak Jokowi, defisit terus membengkak, dan tak ada political will untuk menyelesaikan. Awal berdiri sudah defisit Rp 3.3 T (2014), Rp 5.7 T (2015), Rp 9.7 T (2016), Rp 9.8 T (2017), Rp 10.98 T (2018) dan sampai akhir 2019 diprediksi defisit di atas Rp 15 T. Kalau kita lihat datanya, masalah ini seperti terkesan dibiarkan. Pemerintah abai, dan saling menyalahkan,” katanya.
Bahkan di masa kampanye ini, lanjut Fahri Hamzah, petahana hanya mengambil keuntungan di hilir dengan bagi-bagi kartu, sementara masalah di hulu dibiarkan saja. Menurut dia ini jahat, mengingat rumah sakit banyak kesulitan likuiditas karena klaim tak kunjung dibayar, tenaga kesehatan tidak mendapat hak dan semakin tertekan dalam bekerja.
“Tapi, oleh petahana seolah ini masalah kecil. Dan janji cetak kartu terus jadi bahan kampanye. Hei bung, selesaikan dulu masalah di hulu, jangan pencitraan diujung jungkir balik. Buat negara tampak kuat dan kredibel dalam menyelesaikan permasalahan,” cetus inisiator Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) itu.
Begitu juga di sektor pendidikan. Menurut Fahri yang dibutuhkan juga bukan kebijakan cetak kartu pintar dari SD sampai kuliah. Masalah pendidikan di Indonesia sudah sedemikian akut dan sistemik.
“Yang dibutuhkan konsep besar, butuh memahami gambar besar permasalahannya. Selama 4.5 tahun, petahana tidak mampu melihat gambar besar persoalan pendidikan kita. Makanya dengan bagi-bagi kartu seolah masalah akan selesai. Padahal itu hanya akan menambah masalah saja. Saya berkewajiban mengingatkan ini bahwa cetak kartu artinya tambah proyekan, tambah anggaran dan tambah peluang korupsi,” ujarnya.
Dijelaskan bahwa masalah utama pendidikan adalah kualitas output pendidikan yang rendah serta disparitas (ketimpangan) antar wilayah. Menurut penilaian global, Programme for International Student Assesment (PISA), Indonesia urutan 63 dari 72 negara.
“Kualitas output yang begitu rendah ini karena ada permasalahan mendasar di input dan proses dalam dunia pendidikan kita. Jelas, persoalan ini tidak bisa selesai dengan bagi-bagi kartu. Mau dibungkus pakai iklan apapun ini menyesatkan,” sindir Anggota DPR dari dapil NTB itu lagi.
Menurut penilaian Fahri Hamzah, setidaknya ada dua hal mendasar yang diabaikan dalam 4.5 tahun ini, yakni reformasi tata kelola pendidikan dan investasi bidang pendidikan. Dua hal ini adalah hulu persoalan, dan kalau bagi-bagi kartu itu hanya menyentuh persoalan hilir saja dan bukan ini cara negara bekerja. “Keyakinan saya, negara harus lebih dalam terlibat urusan pendidikan, bukan cuma dipermukaannya saja. Harus berani berinvestasi untuk masa depan. Pembangunan infrastruktur pendidikan lebih utama dibanding infrastruktur Tol, karena efek pendidikan lebih mendasar bagi rakyat,” tegasnya.
Kalau dunia pendidikan mau maju, masih menurut Fahri, yang dibangun dulu bukan infrastruktur Tol, tapi gedung-gedung sekolah yang hancur dan rusak harus diperbaiki. Begitu pula rasio ruang kelas harus diperkecil, mengingat saat ini dalam satu kelas di isi rata-rata 32 anak, bahkan ada sekolah yang 1 kelas diisi 40 anak.
“Rasio guru terhadap anak didik juga besar sekali, 1 guru mengajar 32-40 anak. Bebannya tinggi, tapi gajinya sangat minim. Jika kita mendengar guru honorer hanya digaji 300 ribu per bulan, itu fakta. Mereka adalah guru-guru yang mengajar di pelosok-pelosok Indonesia,” katanya.
Di akhir pemerintahan Presiden Jokowi, mereka para guru honorer berdemo menuntut hak-haknya yang terabaikan. Padahal kewajiban telah tunai mereka kerjakan dengan tulus, tetapi, Presiden Jokowi cuek bahkan menghindar.
“Pemerintah cuek karena sebenarnya pemerintah sudah kehabisan uang. Utang sudah membengkak untuk bikin Tol. Tapi kita bayangkan, untuk memenuhi hak Guru saja katanya tidak ada uang lalu malah mau cetak kartu lagi. Ini sesat dan menyesatkan,” pungkas Fahri Hamzah.
Laporan: Muhammad Hafidh