KETIKA wabah Covid-19 berjangkit dan menyebar di wilayah Jabodetabek, tingkat kematian makin banyak. Kemudian Presiden Jokowi memutuskan mengeluarkan “Pembatasan Sosial Berskala Besar”.
Implementasinya diserahkan pada Menteri Kesehatan. Yaitu Keputusan Presiden RI No. 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Peraturan Pemerintah RI No. 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Berbagai pengetatan dilakukan, phsycal distancing, dilarang berkerumun, bekerja, belajar dan ibadah dari dan di rumah. Kegiatan pemerintah, perkantoran, pendidikan, ibadah, perusahaan dan kegiatan social budaya dan olah raga dihentikan sementara.
Dampaknya semakin reil dan menyedihkan. Semakin banyak pengangguran, tidak bisa bayar kontrakan akibatnya tidur di jalanan, trotar, emperan toko, dan tempat tidak layak. Terjadi kemiskinan massal/bersama. Yang sangat menggelisahkan mereka terancam kelaparan.
Selama diberlakukan PSBB mereka dilarang pulang kampung/desa. Sejumlah orang ada yang sudah pulang kampung dan lainnya distop di tengah jalan dan diminta kembali ke tempat perantauan. Nasibnya semakin ngenes karena bekal hidup sudah ludes. Itulah dampak urbanisasi di tengah hantu belang Covid-19.
Urbanisasi, merupakan arus penduduk desa menuju perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi dan industri semakin deras ketika pembanguann di berbagai sektor semakin massif tahun 1980-an, 1990-an dan 2000-an. Tujuan urbanisasi terutama ibukota atau Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi dan sekitar. Sekarang jumlah penduduk megapolitan Jabodetabek mencapai lebih 30 juta jiwa. Kemudian metropolitan Semarang, Surabaya, Medan, Batam, Makasar, dll.
Jabodetabek dan metropolitan di Pulau Jawa tetap menjadi magnet. Mereka meninggalkan desa dan sektor pertanian sebagai penyedia komoditas yang diperlukan kota. Mereka mencari uang kontan secara cepat. Kota menjajikan hidup lebih baik.
Strategi Pembangunan Indonesia
Sesungguhnya Indonesia telah menganut berbagai model pembangunan pedesaan, yakni model pertumbuhan ekonomi, model ekonomi politik dan ketergantungan, model kesejahteraan, model yang tanggap terhadap kebutuhan, model yang menyeluruh.
Pendekatan ini diungkap secara jelas oleh Prof. Solichin Abdul Wahab, MA, Ph.D (1991) dikutip dari John C. Ickis, “Structural Responses to New Rural Development Strategies”, in David C. Korten and Filipe B. Alfonso (editors), Bureaucracy and the Poor: Closing the Gap. Statement ini diperkuat para pakar, seperti Willian Collier, Gillian Hart, Rice, Mubyarto.
Pergeseran-pergeseran terus berlangsung mengikuti arus tuntutan masyarakat. Namun “paradigma pertumbuhan dan teknokrasi, yang diklaim dari konsep ekonom Inggris Maynard Keynes yang berkembang pertama kali tahun 1930-an terus berlanjut. Intinya perkembangnya ekonomi kapitalis dan neo-kapitalis, bahkan erzat-kapitalis, seperti dikatakan Yahya A. Muhaimin, Bisnis dan Politik Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 (1991).
Bahkan kini telah berkembang pemikiran neo-Keynes (Keynesian), yang mana peran negara (state) dalam pengaturan ekonomi (economic regulation) semakin menguat. Utamanya pengaturan mekanisme berbagai fasilitas pembangunan industri pertanian pedesaan diarahkan untuk kebutuhan pembangunan industri dan kota, notabene ala kapitalis dan komersialis. Dus, dapatlah ditegaskan, bahwa “pembangunan di Indonesia dan juga strateginya dengan begitu telah bersifat urban bias, industrialization bias.”
Istilah Urban Bias menjadi semakin memasyarakat ketika Michael Lipton dengan bukunya ‘Urban Bias’ (1977a) dan Judith Hart (1977) saling mendiskusikan “the genesis of ideologies of urban bias” dalam kertas kerja tradisi klasik sebagai penerus ekonomi politik Marxian. Notion tersebut bermuara dari gagasan Sir James Stuart (1967) yang banyak mengulas rural-urban relations. Kemudian Adam Smith dalam Wealth of Nations (1776) membangun teori ‘sectoral bias’ atau urban bias tersebut.
Mick Moore, “Political Economy and the Rural-Urban Divide, 1767-1981”, in John Harris and Mick Moore, eds., Development and the Rural-Urban Divide (1984) menulis, bahwa sektor industri dan perkotaan lebih menguntungkan dalam investasi modal ketimbang sektor pertanian pedesaan.
Klaim Smith diperkuat Mick Moore, bahwa peranan pertanian akan memberikan “surplus terhadap pembangunan manufaktur kota, dan division of labour dan semua kemajuan teknik serta output pertumbuhannya adalah lebih besar dalam manufaktur ketimbang pertanian”.
Bagi Lipton memperluas ide-ide sebelumnya itu, urban bias model berimplikasi terhadap “kelesuan harga pertanian yang direkayasa, rendahnya harga itu justru diterima para patron/orang kaya perkasa, mendorong pola saving, investasi, income dan konsumsi tidak adil, beban pajak semakin berat, kekuatan-kekuatan dalam masyarakat petani dikooptasi, negara memonopoli berbagai kegiatan”, sebagaimana pendapat Frank Ellis.
Berkembangnya ‘kapitalisme barat’ bukan sesuatu yang baru, sejak zaman Belanda dan VOC-nya telah banyak mempengaruhi struktur pertanian di Indonesia. Tahun 1920-an dan 1930-an Boeke menceritakan berlangsungnya “ekspansi kapitalisme barat atas ekonomi petani massif pribumi yang rentan”.
Praktek-praktek eksploitasi kapitalisme atas petani mencapai puncaknya pada zaman yang disebut “zaman perkebunan besar”, yang menyebabkan ‘shared poverty’, economical stagnation di Jawa. Pandandan Boeke diperkuat MacCawley, eds., Indonesia: Dualism, Growth and Poverty, The Australian National University (ANU, 1980).
Ketika zaman Orde Baru kapitalisme pun berkembang dengan pesatnya. Dimana Richard Robinson, Yahya Muhaimin menulis perkembangan isme tersebut dan menghebohkan penguasa domestik terutama keluarga dekat Presiden di masa itu. Richard Robinson, Indonesia: The Rice of Capital (ANU, 1986), melakukan riset dan mengeluarkan suatu laporan yang cukup detail dalam format buku.
Kecenderungan kearah kapitalisme diperkuat dengan ketentuan khusus lembaga dan negara donor seperti IMF, World, IGGI/CGI serta Amerika Serikat dan Jepang. Syaratnya adalah harus ‘dilaksanakan restrukturisasi dan rehabilitasi ekonomi-politik, dijalankannya diregulasi, liberalisasi dan kapitalisasi pembangunan di semua sektor” (Harolh Crouch), implisit pembangunan pedesaan (pertanian) yang diwakili oleh revolusi hijau sangat bergantung pada kota dan industri.
Semakin tahun ketergantungan Indonesia pada lembaga keuangan internasional dan negara-negara maju semakin kuat, akibatnya terjerat hutang dan impor berbagai komoditas semakin besar, seperti komiditas pertanian hingga peralatan kesehatan.
Kondisi sekarang, para pelaku urbanisasi ada yang sukses, dan sebagian besar hidup serba pas-pasan karena mereka bergerak sebagai pelaku sektor informal, buruh pabrik, kuli kasar, pemulung, tukang becak, pembantu rumah tangga, penjaga toko, tukang parkir, dan lain-lain. Mestinya sektor informal menjadi basis penguat ekonomi daerah dan nasional. Meskipun secara bertahap Indonesia pernah menjadi salah satu “macan Asia”.
Ketika wabah Covid-19 semakin klimaks mereka tidak memperoleh penghasilan. Sebelumnya ada kerja harian, kerja borongan dan kerja bulan dengan upah di bawah UMR, kertika terkena PHK atau kegiatan produksi berhenti dampaknya hidup menggelandang. Hidup tanpa arah tujuan, hidup tanpa mimpi. Semuanya jadi buruk dan gelap gulita.
Oleh Bagong Suyoto Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Dewan Pembina KAWALI Indonesia Lestari