KedaiPena.Com – Indonesia mengkonsumsi 5.6 juta ton plastik setiap tahunnya. 1.67 juta ton merupakan plastik impor, 2.3 juta ton produksi dalam negeri dan 1.6 juta ton hasil recycle.
Dari jumlah tersebut, sekitar 1.7 juta ton menjadi sampah plastik, 1.5 juta ton tertangani, sementara 200 ribu ton per tahun tidak tertangani.
“Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah timbunan sampah Indonesia sekitar 65 juta ton per tahun, di mana 15% merupakan sampah plastik (9.7jt ton). Untuk kantong plastik, hanya 5% yang bisa terdaur ulang, sisanya tidak ekonomis,” kata Sekjen Koalisi Pemantau Plastik Ramah Lingkungan Indonesia (KPPL-I) Adrie Charviandi di Jakarta, Jumat (1/3/2019).
Akibatnya, Indonesia digadang-gadang sebagai penyumbang terbesar polusi plastik di laut. Dan beberapa tahun terakhir ini menjadikan banyaknya gerakan stop kantong plastik.
Dalam kurun 2017 sampai dengan sekarang beberapa daerah menerbitkan kebijakan yang terlihat terburu-buru, tanpa memiliki acuan dasar kebijakan yang baik serta tanpa ada kajian mendalam. Sehingga menimbulkan polemik baru dalam tatanan masyarakat.
“Selain itu dampak negatif juga dirasakan oleh pihak industri kantongan dan industri daur ulang plastik akibat dari kebijakan pelarangan penggunaan kantong plastik di beberapa daerah,” sambung Adrie.
Tumpang tindih peraturan dan kebijakan semakin menjadi terutama ketika Assosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) mengeluarkan statemen untuk memulai kembali kebijakan kantong plastik tidak gratis atau berbayar.
“Seperti diketahui, hal tersebut tidak dirasakan efektif dalam pelaksanaannya seperti yang sudah dilakukan KLHK melalui surat edaran beberapa tahun lalu. Hal tersebut dipicu oleh permasalahan penggunaan/peruntukkan keuangan atas barang kantong plastik tersebut, yang kemudian mengindikasikan ritel menguntungkan diri sendiri dengan kebijakan tersebut belum lagi persolanan sampah plastik masih tidak dapat tertangani secara signifikan,” papar dia.
Adrie juga menekankan seharusnya pemerintah pusat dalam hal ini KLHK harusnya mampu meredam permasalahan yang ada. Bukan menjadikan permasalahan yang ada menjadi blunder. Hal ini terkait kebijakan pemerintah pusat yang sampai saat ini belum juga terbit peraturan terkait kantong belanja plastik.
“Anehnya pihak kementerian malah mendorong daerah-daerah untuk membuat peraturan pelarangan yang secara aturan perundangan tidak memiliki acuan peraturan yang mendasar karena tidak ada dalam UU maupun PP,” Adrie melanjutkan.
“Melemahnya kebijakan KLHK juga terlihat dalam beberapa kejadian, salah satu di antaranya diambilalihnya tongkat pimpinan dalam penyelesaian sampah di laut oleh Kemenko Kemaritiman. DP3SN KLHK tidak berfungsi. Padahal seharusnya dengan adanya DP3SN KLHK dapat menangani persoalan sampah dari hulu hingga hilir di segala penjuru daerah nusantara Indonesia,” sesal dia.
Adrie juga memberi masukan pembentukan Badan Persampahan Nasional (BPN). Seharusnya dalam penanganan sampah nasional perlu didorong dan dibentuk BPN, sehingga dapat mengerjakan dengan spesifik dan tuntas mulai dari hulu sampai dengan hilir dengan memerhatikan 5 aspek pengelolaan sampah yakni aspek hukum, aspek kelembagaan, aspek pendanaan, aspek sosial budaya dan aspek teknologi, di luar tanggungjawab KLHK.
Laporan: Ranny Supusepa