KEBIJAKAN pemerintah yang akan menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar harus bisa memenuhi aspek keadilan bagi masyarakat.
Kebijakan ini seolah simbol kepragmatisan negara dalam membuat kebijakan yang lagi-lagi cenderung menjadi beban bagi rakyat. Terkait kebijakan ini seharusnya hal itupun dimulai terlebih dulu dari pemerintah dan pabrik yang biasa menggunakan plastik untuk kemasan produknya.
Masih banyak pabrik di Indonesia yang menggunakan plastik sebagai kemasan untuk produk mereka seperti misalnya, produk minuman, makanan ringan dan mie instan.
Seharusnya diawali dan dicontohkan dulu oleh pabrik-pabrik yang besar. Jangan rakyat yang dijadikan contoh dan selalu di jadikan objek penderita dan cenderung di kambing hitamkan dalam setiap masalah sosial yang terjadi.
Namun jika meninjau kepada UU No.18/2008 pasal 3 tertulis secara jelas dalam pengelolaan sampah itu diselenggarakan atas tanggungjawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan dan asas nilai ekonomi.
Terkait dengan asas keadilan, saya mempertanyakan apakah tepat kebijakan tersebut lahir akankah terpenuhi rasa keadilan ketika memaksakan masyarakat harus membayar.
Saya setuju dengan adanya kebijakan pengurangan penggunaan plastik di masyarakat mungkin ini terkait dengan asas kemanfaatannya sangat besar. Namun, bukan dengan cara menyuruh masyarakat membayar plastik saat berbelanja.
Terkait mekanisme alokasi dana dari plastik berbayar harus diperjelas, sehingga masyarakat mengetahuinya. Seperti misalnya, apakah dana tersebut masuk ke dalam kas negara atau kas daerah.
Karena hal ini termasuk dana-dana yang diambil dari masyarakat. Rentan dalam penggunaan dan pemanfaatannya sehingga harus diatur pengawasan dan mekanismenya.
Jangan sampai konsumen terkesan menyubsidi toko-toko ritel ketika membeli kantong plastik saat berbelanja, atau peritel mendapatkan uang tambahan dari konsumen tanpa jelas peruntukan akhirnya untuk apa.
Miris, bila melihat fakta yang terjadi di lapangan. Kebijakan ini katanya untuk ramah lingkungan kenyataanya kantong plastik malah bayar 200, terus kantong yang di berikan kepada konsumen masih kantong biasa juga bukan bentuk kantong ramah lingkungan.
Jika pada kenyataannya toko tidak menjual plastik ramah lingkungan, maka seharusnya mereka bisa digugat sesuai dengan pasal 4 tentang hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan jasa, dalam hal ini kantong plastik yang dibeli. Sanksi pidana apabila hal ini tidak di lakukan oleh penjual atau pihak peritel maka sanksi penjara lima tahun dan denda dua miliar rupiah.
Karena hal ini merupakan program dari pemerintah pusat dan sampai saat ini belum ada acuan dasar untuk menjadi pedoman, khawatir pada pelaksanaannya di tingkat daerah akan terjadi penyelewengan atas dana yang ditarik dalam program plastik berbayar.
Situasi ini pun serba salah, bila ada inisiatif pemerintah daerah mau di buat peraturannya atau dengan kata lain diperdakan, namun dasar aturan di atasnya apa? Sampai saat ini belum ada dasar hukumnya.
Oleh Dodi Prasetya Azhari, Ketua Umum Suara Kreasi Anak Bangsa (SKAB)