KedaiPena.Com – Bagi kebanyakan mahasiswa, kampus adalah miniatur negara yang secara bentuk memiliki teritorial khusus. Di dalamnya, layaknya sebuah negara sesungguhnya, dengan beragam dinamika dan juga ruang-ruang demokrasi.
Demikian disampaikan Febriditya Ramdhan Dwi Rahyanto, aktivis Konsolidasi Mahasiswa Nasional Indonesia (Komando) dalam keterangan kepada redaksi, ditulis Kamis (6/2/2019).
“Dinamika kampus juga diwarnai aspirasi bagi mahasiswa yang berposisi layaknya seperti masyarakat yang berada di suatu lingkungan,” kata Adit, sapaannya.
Menyampaikan aspirasi dan juga berekspresi dalam teritorial kampus, lanjut dia, merupakan hal yang benar serta sebagai bukti nyata dalam upaya implementasi tridharma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian serta pengabdian terhadap masyarakat. Hal ini seperti yang termaktub dalam UU No 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.
“Namun secara kondisi nyata, banyak pihak yang merasa terancam dengan sikap mahasiswa yang sangat kritis. Baik itu pihak-pihak tertentu yang mempunyai sebuah kepentingan, baik itu negara atau bahkan birokrasi kampus sendiri yang hari ini memakai kebijakan nya secara sewenang-wenang atas nama SK Rektor,” tegas dia.
Adit melanjutkan, hal tersebut sangat berdampak negatif serta melunturkan ‘taring’ mahasiswa yang selalu dihadapkan dengan peraturan kampus yang tidak pernah masuk akal. Karena apapun alasannya, kampus hari ini mendapatkan ruang bebas untuk melakukan ‘pemecatan’ kepada mahasiswa ketika tidak patuh terhadap aturan yang ada.
Adit menambahkan, salah satu yang disikapi pihaknya dengan keras adalah pemecatan ataupun ‘drop out’ (DO) yang dilakukan oleh pihak kampus terhadap 28 mahasiswa UKI Paulus Makassar.
“Solidaritas adalah panglima, termasuk kepada kawan kita mahasisiwa Universitas Kristen Indonesia (UKI) Paulus Makassar. Luka mereka yang di-DO adalah luka kita semua mahasiswa se-Indonesia. Sangat miris mendengar kawan-kawan kita yang di-DO oleh kampus, padahal mereka bergerak menuntut pengungkapan kejanggalan birokrasi kampus. Bagi saya secara pribadi, ini sebuah kepanikan dan ancaman bagi kampus karena melihat sikap kritis yang dimiliki mahasiswa,” seru Adit.
Ia juga menyampaikan bahwa DO menjadi momok yang menakutkan bagi mahasiswa. Dan hal tersebut menjadi sebuah strategi kampus atau bahkan negara untuk menakutkan mahasiswa. Ini merupakan upaya mempersempit sikap kritis mahasiswa.
“DO atau pemecatan atas nama SK Rektor sudah banyak terjadi salah satunya kawan kita Anggit Dwi Prakoso mahasiswa dari Universitas Pamulang pada tahun 2017. Dan juga Anri Tulus kawan kita dari Universitas Sumatera Utara juga di-DO secara sepihak oleh kampus. Keduanya kemudian sama-sama menempuh jalur hukum,” papar Adit.
Terlebih penyebab DO tersebut adalah dengan terlibatnya mahasiswa pada sebuah aksi dan demonstrasi. Bagi Komando, Adit menegaskan, hal itu adalah sebuah preseden buruk di dalam ruang demokrasi kampus.
“Dan kami atas nama Komando mengecam betul untuk segera mengembalikan hak mahasiswa untuk dapat berkuliah kembali,” tandasnya.
Sebelumnya, ratusan mahasiswa mengatasnamakan aliansi Lembaga Aspiratif Mahasiswa (LAM) UKI Paulus Makassar menggelar aksi demonstrasi yang berlangsung di kantor DPRD Sulawesi Selatan (29/1/2020).
Aksi ini menyikapi pemecatan DO secara terhormat kepada 28 mahasiswa UKI Paulus yang hingga saat ini belum menemui titik terang. Diketahui penyebab DO ialah aksi pada 20 Januari 2020 di kampusnya.
Dari keterangan yang disampaikan oleh Jenderal Lapangan, Lexy, aksi yang dilakukan ini bertujuan untuk mendesak pihak DPRD untuk turut serta dalam mengawal kasus kekerasan akademik yang terjadi di kampus UKI Paulus.
“Kami ingin pihak DPRD juga menjalankan tanggungjawabnya selaku perwakilan rakyat untuk mendesak LLDIKTI (Lembaga Pelayanan Pendidikan Tinggi) wilayah IX agar mengevaluasi kampus UKI Paulus Makassar atas pemecatan secara sepihak yang telah dilakukan oleh Rektor,” ucap Lexy.
Massa aksi sempat tertahan di gerbang kantor DPRD oleh aparat keamanan yang berada di lokasi. Hingga terjadi mediasi dan akhirnya perwakilan aliansi LAM dan mahasiswa yang menjadi korban kekerasan akademik pun dipersilahkan masuk ke dalam ruangan aspirasi.
Di dalam ruangan aspirasi DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, satu persatu mahasiswa dipersilahkan untuk menyampaikan tuntutannya secara langsung yang di fasilitasi oleh Muhammad Irwan dari pihak DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
“Yakinlah aspirasi adek-adek mahasiswa akan kami langsung tindak lanjuti, paling lambat kami janji minggu depan kami akan memanggil rektornya,” janji Muhammad Irwan.
Irwan menegaskan bahwa pihak kampus UKI Paulus Makassar juga harus menghormati kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum.
“Intinya kami sudah menerima aspirasi ini yang mana keinginan adek-adek mahasiswa bahwa di kampus tidak boleh dibatasi terkait penyampaian aspirasi,” ujarnya.
Sementara Jenlap Aksi, Lexy berharap agar pihak DPRD Provinsi Sul-sel dapat menepati janjinya. Sebab, menurut Lexy bahwa saat ini akses mahasiswa telah ditutup oleh Rektor.
“Semoga DPRD bisa memfasilitasi kami untuk melakukan mediasi karena kampus selalu menolak untuk bertemu kami. Kemudian kawal LLDDIKTI karena sampai sejauh ini LLDIKTI tidak pernah serius dalam menyikapi kasus kekerasan akademik yang marak terjadi,” tutup dia.
Laporan: Sulistyawan