Artikel ini ditulis oleh Andre Vincent Wenas, Pemerhati Ekonomi Politik.
Akhir-akhir ini kita kerap dibombardir dengan kampanye hitam tentang utang (pinjaman) yang katanya bakal membebani. Atau dengan rumusan lain beban yang ditinggalkan administrasi Presiden Joko Widodo kepada penerusnya luar biasa beratnya.
Tapi kita tidak boleh berat sebelah dalam membaca posisi utang negara. Karena siapa pun yang pernah belajar sedikit tentang hitung dagang, atau akuntansi dasar tahu bahwa laporan posisi utang berada dalam neraca keuangan negara. Sisi sebelah kiri berisi asset (kekayaan) dan sisi sebelah kanan ada liability (kewajiban atau utang) dan ekuitas (modal).
Dan neraca sifatnya senantiasa berada dalam posisi keseimbangan antara posisi asset dengan posisi liability (kewajiban) plus ekuitasnya.
Kalau dari laporan keuangan negara, atau yang dikenal sebagai Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang teraudit, yaitu laporan tahun 2023 (yang terbit pada bulan Mei tahun 2024 ini) terbaca posisi utang pemerintah adalah Rp9.536,7 triliun. Sedangkan posisi asetnya adalah Rp13.072,8 triliun. Sehingga posisi ekuitas (modal)nya berada di bilangan Rp3.536,1 triliun.
Laporan resmi pemerintah yang teraudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dapat diakses publik di laman djpb.kemenkeu.go.id/portal/id/laporan-keuangan-pemerintah-pusat-lkpp.html. Semua dibuka ke publik, transparan dan akuntabel.
Dalam pembacaan rasio utang terhadap asset (debt to asset ratio) terbaca Rp9.536,7 triliun posisi utang berbanding Rp13.072,8 triliun posisi aset, hasilnya 0,7295 atau dibulatkan jadi 0,73 yang artinya kekayaan nagara kita masih sanggup meng-cover utangnya. Dalam istilah rasio akunting keadaan solvency kita tegolong baik.
Perhitungan lainnya adalah utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dan menurut aturan Undang-Undang (UU No.1/2003 tentang keuangan negara) maksimal rasio utang terhadap PDB adalah 60 persen.
PDB kita di tahun 2023 adalah Rp20.892,4 triliun, sedangkan posisi utangnya Rp9.536,7 triliun. Artinya posisi utang masih berada di kisaran 45,6 persen, jauh di bawah 60 persen yang merupakan batas aman.
Jadi posisi utang terhadap PDB statusnya aman sekali. Tidak seperti yang digembar-gemborkan para lawan politik Jokowi atau para haters yang kerap melakukan “disinformasi” tentang posisi utang.
Giatnya pembangunan nasional selama ini jelas membutuhkan dana yang besar. Ini semua seperti yang dicantumkan dalam APBN dan diundangkan setelah mendapat persetujuan DPR. Adapun sumber penerimaan untuk mendanai pengeluaran APBN itu berasal dari Pendapatan Negara dan Penerimaan Pembiayaan.
Sedangkan Pendapatan Negara berasal dari sumber Perpajakan, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Hibah. Sementara Penerimaan Pembiayaan antara lain berasal dari penerimaan pinjaman atau utang.
Tulisan singkat ini sekedar menyeimbangkan pandangan kita agar tidak myopic (rabun), berat sebelah alias tidak berimbang.
Posisi utang kita jelas bertambah dari tahun ke tahun, karena kebutuhan pembangunan. Tapi yang jelas itu semua seiring dengan peningkatan jumlah asset (kekayaan) negara dan produktivitas (PDB) bangsa yang juga meningkat signifikan.
Hal lain yang perlu dicermati adalah konteksnya. Bagi para pengambil kebijakan, pasti tahu betul bahwa ekonomi nasional kita biar bagaimanapun tidak bisa lepas dari konteks geopolitik internasional.
Keduanya saling tergantung dan saling mempengaruhi. Maka cara pandang kita pun semestinyalah tidak myopic (rabun) terhadap konteksnya.
Ke depan pembangunan akan terus diakselerasi, kita mesti mengelola keuangan negara dengan bijaksana. Kepemimpinan yang kuat, mampu mempersatukan dan mengharmonisasi berbagai kekuatan politik yang ada.
Oke gas
[***]