Oleh: MUHAMMAD RULLYANDI, SH.(PAKAR HUKUM TATA NEGARA)
Dalam kerangka pemahaman negara hukum yang demokratis, kehidupan bernegara dan hubungan antar warga negara dan negara tidak dapat dipisahkan dari prinsip jaminan dan perlindungan hak konstitusional (constitutional rights) setiap warga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 amandemen.
Seiring berkembangnya tatanan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka hukum sebagai instrumen negara memiliki karakteristik yang dibentuk dalam suasana kebatinan (geistlichenhintergrund) dalam rangka menjamin adanya kepastian hukum mengenai batasan kebebasan hak konstitusional setiap warga negara.
Ketentuan pasal 28 UUD 1945, menyatakan kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang – undang. Ketentuan pasal tersebut merupakan eksistensi jaminan dan perlindungan hak kemerdekaan menyampaikan pendapat sebagai bagian dari hak konstitusional setiap warga negara.
Namun prinsip pemenuhan hak konstitusional tersebut haruslah dipahami dalam suasana dinamika kehidupan ketatanegaraan sebagaimana terdapat interrelasi yuridis terhadap ketentuan pasal 28 huruf J ayat (2) UUD 1945 amandemen yang menyatakan bahwa : dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang – undang dengan maksud semata – mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai – nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Batasan kebebasan menyampaikan pendapat / kebebasan berekspresi dalam bingkai konstitusi secara wet matigheid van bestuur (prinsip legalitas) menjadi sandaran undang – undang organik yang dilahirkan semata – mata guna melaksanakan ketentuan konstitusi sebagaimana dimaksud.
Bahkan seiring dengan pemajuan yang pesat dalam aspek globalisasi informasi dan elektronik ruang kebebasan menyampaikan pendapat / kebebasan berekspresi berevolusi telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk – bentuk perbuatan hukum baru.
Sehingga demikian pembentuk undang – undang menginginkan lahirnya Undang – Undang ITE disamping adanya penyesuaian terhadap dinamika perkembangan globalisasi informasi yang telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia yang mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan informasi elektronik.
Disamping alasan yuridis tersebut, pembentuk undang – undang juga memahami adanya berbagai problematika hukum sebagai bentuk permasalahan hukum yang sering kali dihadapi ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan/atau transaksi secara elektronik khususnya dalam hal pembuktian yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.
Oleh karena itu setidaknya dalam penjelasan umum UU ITE pembentuk undang – undang merumuskan 3 (tiga) pendekatan untuk menjaga keamanan di cyber space sebagai bentuk perbuatan hukum yang nyata yaitu dengan pendekatan aspek hukum, aspek teknologi, aspek sosial, budaya dan etika.
Secara substansial nomenklatur ketentuan dugaan pasal karet (Hatzai Artikelen) UU ITE setidaknya sering dihubungkan oleh sekelompok masyarakat sipil dan lain sebagainya untuk menginginkan adanya revisi UU ITE sepanjang berkaitan dengan ketentuan pasal 27 ayat (1) sepanjang berkaitan dengan muatan yang melanggar kesusilaan, pasal 27 ayat (3) sepanjang berkaitan dengan muatan penghinaan dan /atau pencemaran nama baik, pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) sepanjang berkaitan dengan muatan berita bohong dan ujaran kebencian.
Secara akademis tujuan hukum (doelmatigrecht) UU ITE salah satunya adalah memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi (vide pasal 4 UU ITE), UU ITE sebagai sarana hukum dalam pemenuhan dan jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhui tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis lahir dari dorongan suasana kebatinan (geistlichenhintergrund) semangat reformasi untuk melakukan penyesuaian tatanan demokrasi ditengah arus pesat globalisasi informasi dan sebagai catatan terhadap pikiran – pikiran kolonial seperti pengadopsian pasal karet (Hatzai Artikelen) yang sangat bertentangan dengan semangat reformasi dan demokratisasi di Indonesia.
Lebih jauh lagi pemahaman the unity of the constitution dengan penalaran hukum atas suatu bangunan konstitusi (contitutie is de hoogste wet) dalam alam pemikiran konteks pendekatan filsafat kenegaraan, sebagaimana tertuang dalam pokok pikiran pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi : “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan indonesia itu dalam suatu undang undang dasar negara indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara republik indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”,
pembukaan UUD 1945 tersebut merupakan gagasan yang mendasar dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai negara yang berkedaulatan rakyat atau negara demokratis yang didalam perkembangannya bangunan suatu negara demokratis selalu berdampingan dengan prinsip negara hukum.
Apabila dihubungkan dengan prinsip negara hukum maka sebagai negara merdeka dan berdaulat memiliki kewenangan menyimpangi dalam bentuk pembatasan hak dan kebebasan setiap warga negara yang ditetapkan dengan undang – undang incasu UU ITE guna menentukan tertib hukumnya sendiri (law in order), sebagaimana UU ITE secara eksplisit telah menentukan ruang lingkup perbuatan – perbuatan yang dilarang.
Maka dengan demikian keberadaan atas pengaturan hak dan kebebasan setiap warga negara dalam penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi sebagaimana UU ITE yang telah menjadi pedoman sandaran hukum dalam hal menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional pada hakikatnya merupakan bagian dari pemenuhan prinsip dan nilai yang fundamental (in het staatsrecht is een contitutie de grondslag van een staat) atas pokok pikiran konstitusional mengenai asas kedaulatan rakyat yang diimplementasikan dalam bentuk kewenangan penuh negara berdaulat untuk mengaturnya sekaligus merupakan perlindungan terhadap gagasan prinsip negara hukum yang demokratis yang pada pelaksanaannya negara melalui aparat penegak hukum ikut mengawasi (uit oefening controle bestaan) jalannya proses demokrasi sebagaimana dimaksud yang pembatasan hak dan kebebasan konstitusional setiap warga negaranya maupun segala bentuk pertanggung jawaban hukumnya telah ditetapkan melalui undang – undang dengan semata – mata mempertimbangkan nilai agama, moral, keamanan negara maupun ketertiban umum.
Proses penegakan hukum melalui fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara terhadap berbagai jenis perbuatan – perbuatan yang dilarang dalam konteks ruang lingkup kejahatan terhadap keamanan negara maupun ruang lingkup kejahatan terhadap ketertiban umum termasuk penanganan penegakan hukum dalam konteks penegakan hukum UU ITE.
Sebagaimana mengacu pada fungsi, tugas pokok dan kewenangan Kepolisian sebagai alat negara dalam melaksanakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat tersebut, khususnya dalam bidang keamanan dan ketertiban masyarakat pada hakekatnya merupakan pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian dalam keadaan yang sangat dinamis sehingga pelaksanaan fungsi tugas tersebut harus berdampingan dengan serangkaian kewenangan atribusi, subjektifitas dan diskresi yang terukur sebagaimana pokok pikiran pasal 1 angka 5 UU Kepolisian yang menyatakan bahwa keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
Ketentuan yang sering dianggap dugaan pasal karet (Hatzai Artikelen) UU ITE khususnya sepanjang berkaitan dengan ketentuan pasal 27 ayat (1) yang berkaitan dengan muatan yang melanggar kesusilaan, pasal 27 ayat (3) sepanjang berkaitan dengan muatan penghinaan dan /atau pencemaran nama baik, pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) sepanjang berkaitan dengan muatan berita bohong dan ujaran kebencian. Pada hakekatnya keberadaan ketentuan pasal tersebut merupakan wujud eksistensi peran negara sebagaimana pembentuk undang – undang merumuskan 3 (tiga) pendekatan untuk menjaga keamanan di cyber space (aspek hukum, aspek teknologi, aspek sosial, budaya dan etika) dalam menjaga perlindungan hak konstitusional dalam bentuk pembatasan hak dan kebebasan setiap warga negara semata – mata demi tuntutan yang adil dengan pertimbangan nilai agama, moral, kemanan negara dan ketertiban umum.
Namun prinsip pemenuhan hak konstitusional tersebut haruslah dipahami dalam suasana dinamika kehidupan ketatanegaraan sebagaimana terdapat interrelasi yuridis terhadap ketentuan pasal 28 huruf J ayat (2) UUD 1945 amandemen.
Disamping hak – hak konstitusional yang dilindungi oleh konstitusi, negara juga telah mewajibkan setiap warga negara untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara dalam suasana demokrasi yaitu Pancasila, Undang – Undang Dasar 1945, keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika.
Hal demikian tentunya berimplikasi terhadap relevansi keberadaan dugaan pasal karet sebagaimana dimaksud dalam UU ITE ternyata tidaklah bertentangan dengan prinsip dan nilai fundamental dalam pokok pikiran UUD 1945 bahkan substansinya pun telah proporsional dalam suasana dinamika kehidupan demokrasi saat ini dan jauh dari pikiran – pikiran kolonial yang memiliki karakter represif.
Sehingga demikian ketentuan pasal 27 ayat (1) yang berkaitan dengan muatan yang melanggar kesusilaan, pasal 27 ayat (3) sepanjang berkaitan dengan muatan penghinaan dan /atau pencemaran nama baik, pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) sepanjang berkaitan dengan muatan berita bohong dan ujaran kebencian masih relevan untuk dipertahankan dan dijadikan sandaran hukum oleh aparat penegak hukum guna memberikan rasa keadilan dimasyarakat.
Seperti halnya keberadaan pasal kejahatan terhadap keamanan negara vide pasal 106, 107 KHUP atau dikenal dengan pasal makar memang substansinya merupakan hasil pembentukan dari pemikiran zaman kolonial yang diadopsi dalam kitab undang – undang hukum pidana yang meskipun demikian setelah di uji materil ke mahkamah konstitusi pasal makar dimaksud ternyata bukanlah termasuk pasal karet sehingga masih relevan untuk diberlakukan dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Mahkamah Konstitusi telah berpendapat bahwa delik makar cukup disyaratkan adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan, sehingga dengan terpenuhinya syarat itu terhadap pelaku telah dapat dilakukan tindakan penegakan hukum oleh apparat penegak hukum”.
Begitupula hal nya dengan keberadaan dugaan pasal karet lainnya seperti pasal 160 kitab undang – undang hukum pidana tentang penghasutan ternyata Mahkamah Konstitusi masih berkeyakinan bahwa pasal tersebut meskipun hasil pemikiran zaman kolonial tetapi jiwa dan ruhnya masih relevan dengan hukum positif di Indonesia, sebagaimana halnya pasal makar dapat dipahami dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 7/PUU-XV/2017 halaman 154.
(***)