KedaiPena.Com – Gagasan yang digulirkan Mendagri Tito Karnavian pekan lalu untuk mengkaji kembali mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) sudah benar. Karena kalau proses yang buruk ini tetap dipertahankan, dengan mengatasnamakan “demokrasi”, maka rakyat akan mencibir pada demokrasi itu sendiri.
Hal ini disampaikan inisiator Gerakan Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih Adhie M Massardi kepada wartawan siang ini (13/11/2019) di Jakarta.
Menurut Adhie, pilkada langsung yang memakai “resep UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah” adalah “malpraktek politik” paling merugikan rakyat Indonesia. Selain prosesnya menguras enerji rakyat dan berbiaya sangat besar, hasilnya jauh panggang dari api.
Indikasi pilkada langsung tidak produktif bagi bangsa ini, sebenarnya sudah bisa dilihat sejak langkah pertama. Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Prof Dr Syaukani Hasan Rais, SE, MM alias Pak Kaning, adalah produk pilkada langsung perdana yang juga masuk dalam daftar ‘kloter’ (kelompok tersangka) pertama kepala daerah yang dijerat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
“Kalangan elite dan intelektual kita selama ini memang banyak yang salah dalam mendiagnosa persoalan bangsa. Akibatnya, tentu saja, terapinya, ‘treatment’-nya juga sudah pasti salah. Menghasilkan ‘malpraktek politik’ yang dampaknya merugikan kesehatan negara dan bangsa Indonesia,” kata Jubir Presiden era Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) ini.
Terkait pilkada langsung, menurut tokoh Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini, proses kelahirannya diwarnai euforia liberalisasi politik kelompok elite (politik) baru, dengan kedok “membebaskan” penentuan pejabat publik dari genggaman partai politik yang korup yang menghegemoni penuh ruang-ruang di lembaga perwakilan rakyat (daerah).
Padahal dalam prakteknya, pilkada langsung yang menafikan konsensus bangsa Indonesia yang diabadikan dalam sila ke-4 Pancasila (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam persmusyawaran/perwakilan) itu, meskipun dibuka celah kecil untuk calon independen, tapi pintu utama penentu lahirnya pejabat publik tetapberada di tangan parpol.
Akibatnya, pilkada langsung menyulap demokrasi menjadi ‘very very high cost’ (biaya ultra tinggi) dua kali lipat lebih. Karena selain kandidat tetap harus mengeluarkan uang untuk membeli “tiket” pilkada ke parpol, ia juga harus belanja sosial yang bisa jadi lebih mahal: untuk membayar lembaga survei, sosialisasi ke seluruh para pemilih di seluruh pelosok dapil (daerah pemilihan), membayar saksi, tim kampanye, serangan fajar, dan lain-lain.
Mereka tidak pahami bahwa hakekat mekanisme demokratis dalam konteks pilkada sebenarnya adalah adanya transparansi, keterbukaan dalam penjaringan kandidat, dan akuntabilitas serta kredibilitas pelaksanaan pemilihannya. Bukan sekedar dipilih oleh sebanyak-banyaknya orang.
“Saya percaya Mendagri Tito Karnavian akan melakukan diagnosa (kajian) yang benar dan komprehensif, sehingga punya resep yang lebih tepat dalam membenahi pilkada kita. Bukan lagi sekedar mempersoalkan mekanisme (cara) memilihnya, karena dalam masyarakat yang multi-heterogen seperti Indonesia, jauh lebih penting menentukan siapa yang layak dipilih dibandingkan dengan menentukan cara memilihnya,” papar Adhie.
Secara akal sehat, lanjutnya, dua pasangan calon (paslon) atau lebih yang semuanya lolos melalui mekanisme yang kotor, dipilih dengan cara apa pun, bisa dipastikan akan menghasilnya paslon yang kotor. Sebaliknya, sejumlah kandidat yang melewati proses yang sehat, dipilih dengan cara apa pun akan menghasilkan kandidat yang juga sehat.
“Jadi kalau Mendagri Tito dengan kewenangan konstitusionalnya fokus dalam menentukan paslon yang layak dipilih, misalnya dengan mewajibkan semua parpol menggelar konvensi (pilkada) yang transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan akuntabelitas serta kredibelitasnya, dipilih para anggota DPRD sambil tutup mata pun hasilnya, insya Allah, akan membawa berkah bagi rakyat di daerah,” ujar Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini.
Adhie menambahkan, yang akan menolak secara lantang gagasan Mendagri Tito ini adalah kelompok-kelompok kepentingan, terutama para akademisi penyelenggara biro survei, yang lahan utama bisnisnya pilkada langsung. Kelompok mereka itulah yang tempo hari menggalang opini menolak pilkada tak langsung.
Opini yang mereka galang itulah yang kemudian bikin gentar Presiden (ketika itu) Susilo Bambang Yudhoyono. Sehingga untuk meredamnya, dia terbitkan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Perppu Nomor 1 Tahun 2014 untuk melikuidasi UU Nomor 22 Tahun 2014, dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 yang berisi perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2014, yang membuat pilkada tetap digelar langsung.
“Jadi pilkada langsung atau tidak langsung akan ditentukan oleh hal yang sama. Maka pilihan tergantung pada Mendagri Tito, mau mendengarkan suara mereka atau mendengarkan kehendak rakyat yang ingin memiliki kepala daerah yang membawa berkah,” pungkas Adhie Massardi.
Laporan: Muhammad Lutfi