DI saat negara kita mengalami defisit penerimaan negara dari sektor energi dan sumber daya alam, kita telah dipertontonkan suatu drama yang tragis soal pengangkatan seorang menteri ESDM berkewarganegaraan asing.
Padahal Archandra sebagai anak bangsa yang pintar dan berprestasi dengan beberapa penemuan di bidang teknologi “offshore” yang ingin mengabdikan kemampuannya untuk kemajuan bangsa dan negara.
Sayangnya, harus berakhir tragis dan terhempas semakin tidak jelas masa depan dirinya sendiri. Apalagi untuk memikirkan nasib orang lain. Bisa jadi dia  adalah korban dari lembaga kepresidenan yang dikelola secara tidak profesional.
Kesalahan administrasi status kewarganegaraan adalah pintu paling mudah menyingkirkannya, sehingga langkah-langkah besar dia mengoreksi kebijakan di sektor energi oleh pejabat lama seperti revisi anggaran POD IDD Chevron Kaltim, melanjutkan pembangunan Blok Masela dengan skema kilang didarat (OLNG) serta proyek pembangkit listrik 35.000 MW ‎dianggap mengancam kepentingan elit-elit pemilik modal.
Bahkan, bisa juga hal tersebut bisa mengancam persiapan mereka dalam mengumpulkan pundi-pundi persiapan pertarungan tahun 2019.
Sudah tentu timbul banyak pertanyaan di publik. Adalah hal yang aneh, mengapa Presiden tidak menggunakan organnya untuk mengecek rekam jejak seorang calon menteri. Seperti yang sudah dilakukan pada saat pembentukkan kabinet pertama pada Oktober 2014. Mereka mengadakan klarifikasi semua kandidat menteri ke BIN, KPK dan PPATK.
Demikian juga mengapa mekanisme yang sudah baku selama ini tidak dilakukan. Dan akhirnya menyebabkan Presiden salah mengambil keputusannya dalam melantik Arcandra Taher menjadi Menteri ESDM dan akhirnya telah memberhentikannya kurang dari sebulan.‎
Padahal biasanya dalam memilih pejabat yang pada level Dirjen dan Direksi BUMN strategis,  sejak dulu melalui  pembahasan TPA (Tim Penilai Akhir). Contoh semasa zaman SBY, TPA dipimpin oleh Boediono dan sekretarisnya adalah Menteri Seskab. Anggotanya adalah Mensesneg, para Menko dan Menteri terkait.‎
Sehingga Kementerian Sekretaris Negara yang harus paling harus diminta pertanggungjawabannya dalam kasus Acandra ini. Apalagi dalam Pemerintahan JKW-JK Â sekarang malah ada lembaga Kepala Staff Presiden (KSP) untuk mendukung kebijakan Presiden. Belum lagi ada tambahan beberapa staf khusus Presiden yang dulu tidak ada, kok malah produknya makin membuat kacau dan memalukan Presiden dimata rakyat dan dunia.
Akibatnya saat ini Kementerian ESDM dipimpin oleh pelaksana tugas yang menurut ketentuannya tidak dapat memutuskan kebijakan yang sangat penting. Padahal kementerian ini banyak mengurus soal hajat hidup orang banyak.
Kementerian ini juga harus setiap hari mengambil keputusan keputusan penting, seperti penentuan harga minyak Indonesia sebagai patokan transaksi (ICP) , persetujuan POD oleh usulan KKKS melalui SKK Migas dan status perpanjangan blok migas yang akan berakhir kontrak PSC serta proses transisi blok migas seperti Blok Mahakam.‎
Apalagi program pembangunan 4 kilang minyak yang selalu digadang Pertamina selama ini juga belum ada tanda-tanda progresnya, baru dalam bentuk berita berita, angin surga saja.
Belum lagi banyak tender PLTG dan PLTU dari program ‎35.000 MW masih gagal dalam proses tendernya seperti PLTG Jawa 1, PLTU Jawa 5 dan PLTG Pontianak dan lain-lain.
Mengingat beratnya masalah defisit energi dan pembenahan tata kelola energi yang cukup rumit sangat dipengaruhi pemburu rente, kita mengharapkan Presiden harus segera mungkin menetapkan menteri baru  yang profesional, loyal pada bangsa dan negara,  independen serta mempunyai rekam jejak yang baik terbebas dari pengaruh elit parpol,  mafia energi dan sumber daya alam.
Merdeka.‎
Oleh Pengamat Energi Yusri Usman‎