KedaiPena.Com – Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (Kadinkes Provsu), Agustama, memilih bungkam menyikapi penyakit Malaria yang diduga telah menjadi endemik di Pulau Mursala, tepatnya di Desa Tapian Nauli I, Kecamatan Tapian Nauli, Kabupaten Tapanuli Tengah.
“Saya enggan berkomentar dululah soal itu ya,” ujar Agustama kepada KedaiPena.Com, usai dirinya dilantik menjadi Kadinkes Provsu di aula Martabe, kantor Gubernur Sumut, Selasa (7/3).
Saat ditanya terkait pemberitaan penyakit Malaria tersebut, agaknya Agustama mengaku belum mendapatkan laporan. Padahal diketahui, Agustama sejak pertengahan 2016 silam telah menjabat sebagai Plt. Kadinkes Provinsi Sumut.
“Tidak, tidak. Saya belum dengar soal itu,” katanya sembari berlalu.
Diberitakan, Diberitakan beberapa waktu lalu, dibalik daya kewisataannya yang menarik, Pulau Mursala yang secara administratif berada di Desa Tapian Nauli I, Kecamatan Tapian Nauli, Kabupaten Tapanuli Tengah ini ternyata menyimpan momok penyakit yang menakutkan dan mematikan, yakni nyamuk Malaria.
“Malaria paling banyak di sini (Pulau Mursala-red),†ucap Ina (sebutan ibu bagi etnis Nias) Wati Laia (42), seorang warga di Pulau Mursala.
Warga Lingkungan IV di kawasan Pulau Mursala yang telah menghuni pulau Mursala sejak 25 tahun silam ini mengaku, banyak warga yang bermukim di pulau itu meninggal dikarenakan penyakit itu.
“Iya mati, banyak yang mati disini kenak Malaria, di bawa ke dokter katanya Malaria, gitu. Itu, lihatlah di atas sana banyak kuburan, ada juga yang baru melahirkan kenak Malaria, mati, lebih dari 20 orang mati, mulai dari orangtua sampai anak-anak, banyak yang mati,†tuturnya.
Penyakit Malaria agaknya tak hanya menjadi momok bagi kesehatan penduduk di Pulau tersebut, tapi juga diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terhentinya sebuah Sekolah Dasar (SD) yang pernah dibangun di daerah itu. Disebutkan, tenaga pengajar yang ditugaskan ke sekolah tersebut mengalami sakit yang diduga penyakit Malaria.
“Pernah ada sekolah disini, SD, 15 tahun yang lalu lah itu, gurunya gak mau, karena sampai di sini mereka sakit (Malaria-red),†kata Gulo warga lainnya di Pulau Sitaban Barat.
Penuturan Gulo, saat ini gedung sekolah yang dulunya dibangun oleh Dinas P dan K (kini Dinias Pendidikan dan Kebudayaan) itu, kini dimanfaatkan menjadi tempat tinggal oleh penduduk. Aktifitas belajar mengajar tak pernah lagi berlangsung.
Padahal, kata Gulo, saat ini di daerah tersebut terdapat 40 an anak-anak usia Sekolah Dasar (SD). Bagi sebagian penduduk yang memiliki kemampuan keuangan yang cukup dan memiliki kerabat di Kota Sibolga dan Tapanuli Tengah, maka anaknya akan diberangkatkan untuk bersekolah. Sementara bagi penduduk dengan kemampuan ekonomi lemah, maka anaknya tidak akan mendapatkan pendidikan.
“Kalau ada yang mampu ya ke Sibolga, ya kalau ada keluarganya. Ya kalau gak ada kemampuannya, gak ada keluarganya di Sibolga, ya gak sekolah,†kata Gulo.
Ia pun berharap, pemerintah setempat dapat membangun kembali sarana pendidikan bagi anak-anak di pulau tersebut. “Sudah jelaslah, butuh sekolah. Disini banyak anak-anak kami. Ya harapannya biar anak-anak bisa sekolah, tak buta huruf, ya dibangun sekolah disini,†kata Gulo.
Laporan: Iam