Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik.
Namanya Dewan Perwakilan Rakyat, semestinya aspirasinya mewakili rakyat. Lain soal, kalau Dewan Perwakilan Penjahat, ya silahkan menampung dan menyuarakan aspirasi penjahat.
Namun faktanya kenaikan harga BBB yang dikeluarkan pemerintah disetujui DPR. Bila pemerintah benar-benar ingin menaikkan harga BBM subsidi, Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto mengusulkan kenaikan harga BBM Pertalite sebesar 30% menjadi Rp 10.000 per liter.
Lah, ini DPR sudah bertanya belum kepada rakyat? Kalau suara rakyat, jangankan 30 %, 1 % pun rakyat ogah BBM dinaikan. Beban rakyat sudah berat, jangan ditambah lagi dengan kenaikan BBM jenis Pertalite dan Solar.
Dalih DPR, harga keekonomian Pertalite bisa mencapai Rp 17.000 per liter saat ini. Ga sekalian saja, harga keekonomian (baca: harga untung beliung) per liter Rp 30.000, disamakan dengan Singapura. Agar sejalan dengan curhatan Jokowi.
Enak saja DPR menyetujui kenaikan BBM, bahkan menyebut angka 30 %. Bukannya menolak, dan memberikan alternatif solusi, ini DPR seperti tukang stempel, hanya menjadi alat legitimasi eksekutif.
Jangan hanya berbusa bicara asumsi harga minyak sudah naik dari US$ 65 per barel menjadi US$ 100 per barel. Sebab, saat pandemi harga minyak dunia jatuh dibawah US$ 20 per barel, DPR tidak pernah bersuara menuntut penurunan harga BBM?
Kalau alasan kenaikan harga BBM tak terelakan, karena subsidi akan membebani negara, membebani APBN. Pertanyaannya, DPR itu wakil rakyat atau wakil pemerintah ? Harusnya DPR memikirkan beban rakyat, APBN biar diurus pemerintah.
Lagipula, kenapa logika APBN hanya dibaca atas kenaikan harga minyak dunia yang diklaim membebani APBN?
Kenapa tidak membahas sejumlah komoditi lain yang justru menyumbang porsi penerimaan APBN, seperti komiditi Batubara, Nikel, Sawit, dan lain-lain. Saat dunia kesulitan, Indonesia mendapat berkah dari kenaikan komoditi ini.
Misalnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 dilaporkan ikut menikmati kenaikan harga komoditas pertambangan.
Setoran pajak dari sektor ini melonjak, naik paling tinggi di antara sektor-sektor lainnya.
Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, melaporkan penerimaan pajak dari sektor pertambangan pada Januari-Oktober 2021 tumbuh 43,4% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Pada Januari-Oktober 2020, setoran pajak dari sektor ini anjlok 43,9%.
“Kinerja sektor pertambangan didorong oleh permintaan global dan meningkatnya harga komoditas tambang,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita periode November 2021, Kamis (25/11/2021).
Di bawah pertambangan, sektor perdagangan mengalami pertumbuhan tertinggi kedua yakni 25%. Tahun 2020, penerimaan pajak dari sektor ini sempat ambles 20%.
Kemudian ada sektor industri pengolahan yang setoran pajaknya naik 14,6%. Jauh membaik ketimbang tahun 2021 yang -18,1%.
Apakah angka-angka ini tidak dibaca oleh DPR? Apakah, mata DPR hanya melotot pada kenaikan harga BBM, tapi tutup mata pada kenaikan komoditi terutama sektor pertambangan yang menyumbang pemasukan APBN tinggi?
Kalau DPR kerjanya cuma mengaminkan rencana eksekutif, lebih baik DPR dibubarkan. Kalau DPR hanya mampu manggut-manggut atas rencana kenaikan BBM, jangan mengatasnamakan mewakili rakyat. Karena rakyat, ogah BBM naik.
Lagipula, sejumlah penghematan bisa dilakukan. Dari menunda proyek infrastruktur unfaedah, tunda IKN, tunda kereta cepat, periksa kebocoran alokasi subsidi energi, maksimalisasi sektor komoditi untuk menutup defisit APBN, dan masih banyak lagi. Masak rakyat memilih dan menggaji DPR hanya untuk ikut menambah derita rakyat?
[***]