Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Apa hubungannya? Kabinet Presiden Prabowo dengan strategi Mandala. Strategi pembebasan Papua (Irian Jaya), 62 tahun silam?
Strategi yang ditempuh mertuanya itu. Mayjen Soeharto. Secara persis memang tidak ada. Hanya terdapat sisiran kemiripan. Dalam sejumlah hal saja. Itu jika dicermati mendalam. Ialah menghadapi lawan besar dengan pertempuran-pertempuran kecil. Melalui titik yang banyak. Untuk mengurai kekuatan lawan yang lebih besar. Agar daya serangnya terpencar menjadi kekuatan-kekuatan kecil.
Calon anggota kabinet Presiden Prabowo sebanyak 108 orang. Menteri, Wakil Menteri, Kepala Badan. Jumlah itu amat besar. Banyak pihak mengkhawatirkan indikasi “bureaucratic gigantisme”. Birokrasi tambun.
Ialah team kerja raksasa. Ibarat tubuh, obesitas. Rawan penyakit. Tidak sehat. Begitupula padanannya dalam birokrasi. Tim kerja tambun bukan saja membebani anggaran. Ibarat tubuh tambun, beban beratnya menghalangi kegesitan bertindak. Lamban menyelesaikan masalah. Tidak efektif. Boros di ongkos. Apalagi kalau hanya sebatas meeting dan FGD-FGD.
Berbeda dengan kekhawatiran itu. Ada pencermatan melalui sisi berbeda. Kabinet Presiden Prabowo tambun justru dianggap problem solver. Tantangan strategis saat ini sudah tepat dihadapi melalui kabinet gemuk.
Kenapa?
Pertama, realitas multi partai, kebutuhan stabilitas relasi parlemen-eksekutif dan tantangan global. Eskalasi global memerlukan team kerja solid. Agar bisa fokus menyelesaikan masalah dengan cepat. Ketika berpacu dengan kecepatan negara-negara lain. Oleh karena itu diperlukan jaminan stabilitas relasi parlemen-eksekutif. Dalam iklim multipartai yang transaksional.
Menghadapi realitas kompleks seperti itu, Presiden Prabowo menerapkan “politik gotong royong”. Merangkul semua potensi politik. Mengajak semua potensi kebangsaan bekerja bersama-sama. Menundukkan tantangan global. Bukan strategi winner take all. Pemenang mengambil semua.
Instabilitas politik akan menghambat kemajuan bangsa ini melewati perpacuan global itu. Bahkan penyelesaian problem internal kebangsaan pun akan terhambat. Jika dikalkulasi, akan tetap efektif pilihan strategi team kerja gotong royong. Walaupun konsekuensinya menjadi kabinet tambun.
Jika dibandingkan dengan menerapkan winner take all. Akan tetapi dalam bayang-bayang ancaman instabilitas politik.
Kedua, fokus penyelesaian masalah yang ragamnya banyak. Problem internal maupun global amat kompleks. Bertambahnya nomenklantur kementerian untuk akomodasi potensi pluralitas kekuatan politik berdampak positif. Jika penambahan itu dimanfaatkan untuk mempertajam fokus penyelesaian tantagan yang dihadapi. Masing-masing Menteri kabinet, badan/lembaga, memiliki cakupan kerja lebih terfokus. Lebih menjamin efektivitas kerja kabinet.
Strategi itu mirip strategi perang. Menghadapi lawan besar dengan pertempuran-pertempuran kecil. Melalui titik yang banyak. Sebagaimana strategi Mayjen Soeharto. Ketika perebutan Irian Barat.
Ketiga, mempersempit potensi korupsi. Konsentrasi lingkup kerja yang luas pada sedikit orang berpotensi memicu korupsi. Kontrol menjadi sangat luas. Banyak gray area (daerah bayang-bayang) yang pengawasannya kurang.
Berbeda dengan lingkup kerjanya terfokus. Tidak terlalu besar lingkup kewenanganya. Kontrolnya akan semakin mudah. Termasuk potensi rebutan lahan basah. Untuk kepentingan logistik politik.
Pemencaran kewenangan akan membagi pemusatan anggaran hanya pada satu kelembagaan besar. Menghindarkan perebutan lahan basah pada pemusatan anggaran yang terlalu besar pada satu instansi.
Dua perspektif itu bisa kita gunakan pisau analisa memahami kabinet tambun. Kabinetnya Pabowo-Gibran. Antara efektif dan merugikan.
Mana di antara kedua perspektif itu yang benar.
Kinerja kabinet Prabowo-Gibran akan segera terhampar dihadapan. Bisa dinilai. Bahkan dievaluasi bersama.
ARS ([email protected]), Jaksel, 18-10-2024
[***]