KABINET Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo diolok-olok karena membuat kerjasama ekonomi antara pengusaha pribumi dengan pengusaha Tionghoa yang ternyata berat sebelah, sehingga pers waktu itu menyebutnya Kabinet Ali-Babah.
Kabinet Burhanuddin Harahap diakronimkan jadi Kabinet BH, oposisi waktu itu meledeknya kabinet kutang.
Waktu Sukarno merangkap jadi Perdana Menteri/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi, Sukarno bikin Kabinet 100 Menteri, anggotanya 104 menteri, satu di antaranya jagoan Senen.
Habibie jadi anak emas Soeharto sehingga waktu itu ada sebutan Kabinet ICMI, Ikatan Calon Menteri Indonesia.
Citra kabinet dari pemerintahan ke pemerintahan mengalami pasang surut. Nama kabinet berganti-ganti, tapi prestasi, integritas, dan reputasi menteri jadi fokus perhatian publik.
Kabinet Dwikora, Kabinet Gotong Royong, Kabinet Persatuan Nasional, Kabinet Indonesia Bersatu, Kabinet Karya, Kabinet Pembangunan, Kabinet Tri Sakti, Kabinet Kerja, apalah artinya? ‘’What is the meaning of a name?’’, kata Shakespeare.
Belum lama ini dalam waktu berdekatan menteri-menteri di kabinet Presiden Jokowi dilanda oleh kemerosotan kewibawaan dan makin kehilangan kepercayaan dari publik. Citra kabinet terus tercoreng. Elektabilitas Presiden Jokowi semakin tergerus oleh ulah para menterinya sendiri.
Setelah pernah disindir oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo sebagai Sales Promotion Girl alias SPG-nya IMF & Bank Dunia, ekonom senior Anwar Nasution mengkritik keras Sri Mulyani sebagai menteri yang suka membawa-bawa batok kelapa untuk mencari pinjaman utang ke luar negeri.
Batok kelapa identik dengan atribut peminta-minta. Di zaman Malaise tahun ‘20-an rakyat hidup susah, pengangguran meningkat, kemiskinan merajalela. Saking susah rakyat yang kelaparan menjual anak sendiri, kriminalitas dan angka bunuh diri meningkat.
Orang lebih suka hidup di dalam bui karena dibui masih mending dikasih makan dua kali dalam sehari. Waktu itu banyak pengemis di jalanan, batok kelapa sangat populer.
Mula-mula batok untuk meminta beras, karena beras tak ada, maka uang sebenggol diharapkan dari yang punya.
Sri rupanya sudah menjadi duri dalam daging. Publik menunggu sang duri dicabut, tetapi kapan itu terjadi? When did it happen? Yang berkembang justru kabar Sri sedang mempersiapkan diri jadi cawapresnya Jokowi di Pilpres tahun depan.
Apa modalnya? Pencitraan dan batok kelapa.
Di lain jurusan, Menkes Nyonya Nila Moeloek melukai perasaan publik, dengan menyebut cacing boleh dimakan karena mengandung protein. Publik pun bertanya-tanya Nyonya Menteri kenapa kok memihak produsen sarden, padahal BPPOM bilang 27 produk makanan kaleng itu mengandung cacing tak layak untuk dimakan.
Sementara itu Airlangga Hartarto kabarnya sekarang jadi semacam Mat Girang karena yakin disunting Jokowi bakal jadi cawapres. Sehingga saking girangnya beredarlah video Gojo, joget meriah berupa goyang dangdut, mobilisasi dukungan untuk Airlangga,
Apa modal Airlangga? Status quo Golkar belaka!
Belakangan dia juga dikecam lantaran kementeriannya keliru menyerahkan data kebutuhan garam produksi ke Presiden Jokowi.
Banyak kalangan menyebut munculnya angka 3, 7 juta ton kuota impor garam direkomendasikan oleh Airlangga terindikasi mark up.
Soal semakin banyaknya biro travel bodong yang menipu para calon jamaah umroh juga menyulut kemarahan, sehingga Arteria Dahlan, anggota DPR dari PDIP, mengumpat kata-kata kotor, sebab Kemenag-nya terlalu bergaya menak, tidak berdaya menertibkan dan hanya jago bersilat kata.
Padahal publik tau Kemenag salah satu kementerian terkorup, bersama Kemenkes dan Kemendikbud.
Sebelumnya Enggartiasto Lukito, sang menteri perdagangan, juga banyak dicela lantaran mengimpor beras waktu petani di banyak daerah bakal panen.
Jokowi dipertanyakan beranikah mencopot Enggartiasto yang dibelakangnya ada Surya Paloh, ketua umum partai pendukung.
Jokowi tersendera oleh ulah menteri-menterinya. Siapa yang bisa membebaskannya dari penyanderaan ini. Durasi periode pertama pemerintahan Jokowi kian sempit, sedang kondisi perekonomian dan situasi berbangsa serta bernegara dapat menjadi kian memburuk.
Oleh: Arief Gunawan, Wartawan Senior