KedaiPena.Com – Program Kartu Pra Kerja seharusnya dilakukan oleh Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker). Jika tetap dilakukan oleh lembaga manajemen di bawah Kemenko Perekonomian, maka hal itu membajak tugas pokok Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), cq Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (disingkat Ditjen Binalattas).
“Kemenaker yang terbiasa melakukan itu,” ujar eks Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat kepada KedaiPena.Com, Rabu (29/4/2020).
Sampai saat, Jumhur meyakini tidak ada lembaga yang lebih kredibel menjalankan Kartu Pra Kerja ini, selain Kemenaker. Karena sejak Indonesia merdeka, Kemenaker memiliki tugas itu. Apalagi, jika ditambah dengan dinas tenaga kerja seluruh Indonesia yang mencakup lebih dari 500 kabupaten kota dan 34 provinsi.
Selain pengalaman, pendataannya pun yang paling dekat dengan keadaan sebenarnya. Sebab, setiap pencari kerja di daerah, mereka mencatatkan diri dalam kartu kuning.
Kemudian, hampir semua industri yang melakukan PHK, mendaftarkan diri ke dInas tenaga kerja setempat. Semua data direkap dan bermuara di Kemenaker.
“Sehingga tidak ada lembaga yang paling mengerti, paling kompeten untuk mengetahui berapa tenaga kerja dan berapa jumlah ter-PHK, selain Kemenaker ini,” papar Jumhur.
“Sungguh tidak masuk akal, di republik yang dilengkapi lembaga yang terstruktur, tiba-tiba tugasnya diganti lembaga manajemen yang bersifat ‘ad hoc‘ yang dibentuk oleh lembaga di bawah Kemenko Perekonomian. Pasti lembaga itu ‘kaleng-kaleng‘ atau ‘abal-abal‘ yang fungsinya menyembunyikan niat jahat untuk menggarong uang rakyat,” jelasnya.
Karena itu, Jumhur mendesak Presiden Jokowi menghentikan hal tercela ini. Mumpung baru sekitar Rp166 miliar dari Rp5,6 triliun tang terpakai di program ini. Presiden masih bisa menyelamatkan. Dan jika tidak, maka Presiden patut diduga merestui.
“Bila ini terjadi, maka Presiden melakukan tindakan tercela,” tandas Jumhur.
Laporan: Muhammad Lutfi