KedaiPena.Com – Di tengah-tengah kencangnya isu reshuffle kabinet yang sedang berhembus, disebutkan bahwa Presiden Jokowi memutuskan untuk tetap memasang Sri Mulyani di dalam kabinet. Bahkan beberapa pihak menyebut, Sri Mulyani akan memegang jabatan rangkap sebagai Menteri Keuangan dan sekaligus Menteri Koordinator Perekonomian.
Padahal belum lama ini Sri Mulyani telah menelanjangi dirinya sebagai neolib, seperti saat kebijakannya mengenakan pajak 10% bagi petani tebu menjadi polemik publik. Bahkan kemarin (11/7), Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita telah secara resmi melayangkan surat protes atas kebijakan Sri tersebut.
Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP), Arif Hidayatullah mengungkapkan kekecewaannya atas berkembangnya kabar bertahannya Sri Mulyani di Kabinet Jokowi.
“Kami ragu Jokowinomics akan dapat berjalan mulus dalam 2 tahun di sisa masa jabatan sebagai Presiden bila nahkodanya adalah ekonom yang hobi utang, namun pertumbuhan ekonomi biasa saja,” kata dia di Jakarta, Jumat (14/7).
Menurut Arif, yang juga mantan Sekjen LMND ini, contoh dari ekonom model tersebut adalah karena Sri Mulyani yg merupakan keturunan Berkeley Mafia.
Seperti diketahui Berkeley Mafia adalah geng yang telah menjerumuskan ekonomi Indonesia dalam cengkeraman modal asing selama 32 tahun Orba.
Arif mencatat selama Sri Mulyani menjabat tahun 2006-2010, dirinya telah menimbun surat utang luar negeri pemerintah sebanyak Rp476 triliun (atau sekitar USD 40 miliar saat itu). Namun dengan besarnya utang semasa 2006-2010 tersebut juga, Indonesia hanya menikmati growth di kisaran 4-6%.
Dengan jumlah surat utang yang dibuat Sri Mulyani sebesar itu dan dengan selisih suku bunga sebesar 2% di atas Filipina, Vietnam, dan Thailand, maka menurut perhitungan Arif Hidayatullah, akibatnya dengan asumsinya surat utang bertenor 10 tahun, Indonesia kini harus membayar selisih tambahan bunga utang (di atas ketiga negara tsb) sebesar USD 8 miliar.
Padahal sebenarnya suku bunga surat utang Indonesia dapat lebih murah antara 1-2% di bawah ketiga negara tetangga tersebut. Ini terbukti dapat dilakukan di era Menteri Keuangan Agus Martowardoyo.
“Jokowinomics akan sukses bila dijalankan oleh ekonom yang mampu kurangi utang luar negeri namun mampu angkat tinggi pertumbuhan ekonomi. Dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat, tercipta nilai tambah ekonomi seperti lapangan kerja baru, pendapatan rakyat meningkat “, pungkas Arif.
Seperti diketahui, kejadian tersebut pernah terjadi di era Presiden Gus Dur yang mampu kurangi utang luar negeri hingga USD 3,5 miliar (setara Rp 45 trilun) namun pertumbuhan ekonomi terangkat dari minus (-) 5% ke positif 4%.***
Laporan: Muhammad Hafidh