PEMUTUSAN hubungan kerja industrial terjadi di berbagai penjuru, akibat dari percepatan deindustrialisasi. Perusahaan-perusahaan nasional besar mengalami gagal bayar kepada pengutang.
BUMN-BUMN yang seharusnya menjadi tulang punggung negara, semakin inefisien akibat maraknya korupsi (tangkap tangan KPK terus terjadi), salah urus (inkompetensi), serta miskin inovasi.
Akibatnya beberapa BUMN yang besar dan jagoan di masa lalu mengalami kebangkrutan, dan ada yang dipermalukan di depan publik dalam dan luar negeri karena merekayasa laporan keuangan.
Bank-bank investasi besar dari AS, Jepang, dan Eropa mencabut unit sekuritasnya dari pasar modal Indonesia. Hal ini terjadi meskipun Indonesia terus menarik utang dengan bunga tertinggi di Asia Tenggara.
Tax ratio adalah yang terendah di Asia, sementara usaha kecil terus dipajaki dan usaha besar dibebaskan terus dari pajak. Lebih dari seperempat dari anggaran negara digunakan untuk bayar bunga dan pokok utang tahun ini.
Transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit parah (1,4 kali lipat besarnya dari era menjelang Krisis 1997-1998), sekaligus yang terburuk di kawasan Asia Tenggara saat ini.
Dalam era Presiden yang sekarang, defisit perdagangan juga adalah yang terburuk.
Apakah ini bukan gejala dari kegagalan pembangunan ekonomi? Kalangan terbatas malahan meramalkan badai krisis ekonomi sudah dekat.
Pastinya akan semakin dekat bila Presiden Jokowi dalam periode pemerintahan periode kedua tetap memakai tim ekonomi yang sekarang, terutama: Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri keuangan Sri Mulyani, dan Menteri BUMN Rini Soemarno.
Seluruhnya dari para menteri ini ternyata mengalami masalah pelik. Selain inkompetensi mereka yang menyebabkan masalah perekonomian yang dipaparkan di atas, ternyata ketiganya juga berpotensi terjerat masalah hukum.
Darmin Nasution, dipandang sebagai menteri koordinator perekonomian terburuk sepanjang masa setelah Orde Baru hingga sekarang.
Hal ini terjadi karena Darmin: 1) bukanlah seorang “president men” (orang kepercayaannya presiden) karena lebih dianggap sebagai orang dari Wapres JK; 2) dipandang lemah secara teknis; 3) dan tidak memilik kepemimpinan yang kuat.
Kabar sas-sus terbaru, yang memang tidak mengejutkan, menyebut dirinya tidak lolos dari seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) minggu lalu. Tidak mengejutkan karena di masa lalu banyak yang menyampaikan bahwa semasa menjabat Dirjen Pajak, Darmin kerap “bermain” tetapi menggunakan tangan adiknya.
Inilah karakter warisan dari para ekonom mafia Berkeley kepada Darmin: terlihat bersih dan sederhana dalam tampilan di luar, tetapi sebenarnya di belakang “bermain”.
Sri Mulyani (SMI), terindikasi terlibat berbagai kasus besar di masa lalu, seperti: Skandal Century dan Skandal BLBI. Selain itu ada juga Skandal Pajak dari Grup Ramayana (Paulus Tumewu) dan Pembebasan pajak grup usaha milik Arifin Panigoro saat mengakuisisi Newmont di masa lalu (yang diakui Sri Mulyani sebagai ulahnya, dan secara hukum akhirnya harus juga berlaku sama kepada Freeport kini!).
Sebagai sesama murid mafia Berkeley seperti Darmin, Sri Mulyani juga tampil sederhana dan bahkan memikat: karena dapat tampil lebih pop¸ terutama di kalangan kaum milenial.
Penampilan pop Sri Mulyani ini bahkan dapat membuat banyak intelektual yang seharusnya progresif juga menjadi amnesia terhadap ideologi neoliberal yang dianut Sri.
Publik juga kurang paham terhadap kegemaran Sri memberikan bunga utang ketinggian bagi para bond investors, sembari mencekik anggaran untuk rakyat.
Lebih jauh lagi, Sri Mulyani bahkan belakangan juga kerap menjadi polisi ideologi radikal di kementeriannya, mengambil wewenang Menkopolkam dan BIN.
Entah apakah ini merupakan upayanya menjilat Jokowi setelah kinerjanya sebagai menteri keuangan terungkap payah.
Rini Soemarno (Rinso), merupakan musuh bersama dari banyak kelompok, namanya sering “dinyanyikan” para demonstran di KPK, bahkan lawan yang terkuat Rini ada di partai pendukung utama Jokowi sendiri.
Dari Kasus Pelindo-JICT (yang menyebabkan Rini bertahun-tahun terakhir tidak berani datang ke DPR), mark up kereta api cepat dari Tiongkok, sewa pesawat Garuda ke Tiongkok, banyaknya direksi BUMN yang dicokok KPK, holding-holding BUMN yang menyembunyikan bau busuk manajemen BUMN angggota holding, pindahnya kantor Pertamina Pusat ke Gedung milik Luhut Binsar Panjaitan (Menteri Koordinator Kemaritiman), hingga peran aktif kakak kandungnya (Ari Soemarno) yang berperan menjadi mafia migas era Jokowi yang mengungkung Pertamina.
Semuanya merupakan jejak hitam yang ditinggalkan selama menjadi Menteri BUMN di periode pertama Jokowi. Terlebih memang kinerjanya BUMN sangat payah di era Jokowi: indikator-indikator seperti return on asset dan equity keseluruhan BUMN lebih buruk dari pemerintahan-pemerintahan sebelummnya, rekayasa laporan keuangan Garuda yang mempermalukan nama besar Garuda, hingga sebagian BUMN (Krakatau Steel dan PT Pos) bahkan terpaksa hampir bangkut di era Rini.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Pergerakan Kedaulatan Rakyat