NEGARA Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercipta dari kesepakatan olah pikiran manusia yang digerakan keinginan luhur humanisme yang memahami gerak jiwa manusia yang hidup di tanah air Indonesia yang harus diperjuangkan jiwa merdekanya, diberi prioritas menikmati hasil kekayaan alamnya.
NKRI adalah hasil dialog pemikiran untuk mengikat diri dalam aturan hidup bersama yang disepakati dalam sistem hukum positif. NKRI telah diuji melalui berbagai ujian pembubaran dan pengkhianatan atas sistem NKRI, karena jiwa-jiwa pendiri NKRI adalah jiwa-jiwa yang telah suci untuk mengabdi kepada tanah air dan peduli atas nasib rakyat kecil yang harus dilayani.
Dalam konteks seperti inilah nafsu kekuasaan dan nafsu mengambil keuntungan untuk kepentingan pribadi atau golongan bisa dipentalkan, karena pemimpin dan para pemangku NKRI jiwanya masih mengikuti alur cita-cita luhur para pendirinya.
Wacana dwi kewarganegaraan yang disampaikan Presiden Jokowi tanggal 16 Agustus 2016 di depan Sidang Paripurna DPR RIÂ jelas mengandung arti dan tanda bahwa ada ketidakpercayaan atau keragu-raguan atas risalah negara yang dibawa oleh para pendiri NKRI dan para pemangku NKRI sekarang.
Warga negara yang memilih dwi kewarganegaraan berarti hanya berkeinginan menikmati kekayaan alam Indonesia sebagai anugrah Tuhan YME tetapi tidak percaya kepada manusia Indonesia yang telah diberi berkah dan rahmat oleh Allah SWT karena keinginan luhurnya untuk mengatur kehidupan bersama di tanah air Indonesia.‎
Seperti orang percaya kepada Allah Tuhan YME tapi tak percaya kepada manusia sebagai utusan Allah yang telah memerdekakan bangsanya, dan itu berarti warga negara yang menginginkan dwi kewarganegaraan adalah manusia yang ingin menikmati hasil kekayaan yang tersedia di tanah air Indonesia tapi tidak percaya atas para pemimpin dan pemangku kekuasaan NKRI.
Oleh karena itulah, usulan revisi UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 harus ditempatkan dalam bingkai penguatan kepentingan nasional dan dalam rangka semangat mempertahakan kedaulatan nasional, dan bukan sebaliknya melemahkan warga Negara Indonesia di hadapan para komparador dunia.
Saya secara tegas menolak dengan keras bila perubahan UU Kewarganegaraan tersebut dimaksudkan untuk mengakomodasi dwi kewarganegaraan apalagi akokomodasi kepentingan-kepentingan tertentu.Â
Dorongan agar UU Kewarganegaraan mengakomodasi dwi kewarganegaraan jelas menjadi ancaman serius bagi kedaulatan dan kepentingan nasional kita.
Argumentasi tentang globalisasi dan menyebarnya warga negara Indonesia di belahan dunia melalui diaspora tidak bisa menjadi pembenar tentang dwi kewarganegaraan.Â
Sumber daya manusia warga Indonesia yang menyebar di berbagai belahan dunia justru harus menjadi modal penting untuk melakukan transfer pengetahuan dan keahlian untuk kepentingan nasional.Â
Justru patut digugat tentang nasionalisme seseorang bila melepaskan kewarganegaraan Indonesia dengan lebih memilih warga negara di luar Indonesia terlebih karena alasan pragmatis sempit.‎
Oleh Khatibul Umam Wiranu, ‎Anggota Badan Legislasi DPR RI, Sekretaris FPD MPR RI, Dapil Jateng VIII (Kab. Banyumas dan Cilacap)‎
‎