Prediksi RI di 2019
BERITA yang santer beredar beberapa waktu lalu bahwa bakal ada perombakan kabinet, bukanlah sebuah “hoax”. Sebabnya, adalah Presiden Joko Widodo sendiri yang memperjelas hal itu. Antara lain dalam wawancaranya dengan CNN Indonesia. Menurut Presiden, perombakan merupakan sebuah kebutuhan.
Sempat dirumorkan, sejumlah menteri yang akan terimbas oleh reshuffle. Ada katanya yang dirotasi, pindah posisi dan ada pula yang terlempar keluar. Selain itu terdapat beberapa nama baru yang masuk.
Dua nama dalam kabinet yang cukup santer dipergunjingkan adalah Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menko Polhukam Luhut Panjaitan.
Keduanya dikatakan akan dikeluarkan dari kabinet. Sekalipun berat, Presiden Joko Widodo terpaksa harus melepas keduanya.
Berat, sebab kepada kedua sosok ini, Joko Widodo sebetulnya punya hubungan khusus dan hutang pribadi. Yang tidak jelas, dengan siapa Presiden punya hubungan khusus dan ke siapa Pak Jokowi punya hutang pribadi.
Rini Soemarno dikorbankan, karena keputusan itu merupakan jawaban atas permintaan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnputri.
Mega dikatakan menekan Jokowi agar mengganti Rini Soemarno. Sebab bagi Mega, Rini sebagai (bekas) sahabat merupakan seorang pengingkar persahabatan atau pengkhianat.
Rini juga sering disorot karena berbagai fotonya yang terlihat sedang “in” atau terlalu lengket dengan Presiden.
Bukan hanya itu. Foto lainnya Menteri Rini yang sedang membetulkan dasi Menteri Luhut – entah di saat sedang jedah rapat kabinet atau di tempat lain, sempat menimbulkan gossip ala infotaintment.
Presiden juga terpaksa melepas Luhut Panjaitan. Sebab jenderal yang sempat disebut-sebut sebagai RI Satu Setengah ini, katanya dianggap oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai pihak yang banyak ‘menyabot’ berbagai proyeknya. Proyek dalam pengertian gagasan.
Jadi pelepasan kedua menteri itu, bertujuan untuk menjaga keseimbangan. Sekaligus ‘membersihkan’ semua hal yang dianggap menodai atau mengotori pemerintahan.
Selain itu untuk membuktikan bahwa sebagai Presiden, Joko Widodo memiliki Hak Prerogatif, dimana hak istimewa tersebut tak bisa dianulir oleh siapapun. Apalagi soal pengangkatan dan pemerhentian Menteri, merupakan Hak Prerogatif seorang Presiden.
Sementara nama baru yang beredar cukup banyak. Tapi nama-nama itu kebanyakan berasal dari PDIP. Partai pimpinan Megawati ini menginginkan penambahan jatah kursi. Dalam penyusunan awal di Oktober 2014 sampai dengan perombakan kabinet jilid satu, sebetulmya PDIP tidak merasa nyaman. Tidak juga puas karena tak semua aspirasinya tertampung.
PDIP sendiri merupakan partai politik yang digunakan Joko Widodo untuk kendaraan politiknya dalam Pilpres Juli 2014 lalu. Jadi wajar jika PDIP menagih hak sekaligus hutang politiknya kepada Presiden.
Namun hal terpenting yang dipetik dari (rencana) perubahan ini, kabinet baru merupakan hasil susunan dan pilihan Presiden Joko Widodo sendiri. Tidak ada lagi campur tangan dari Wapres Jusuf Kalla. Posisi Wapres sebagai “ban serep” benar-benar dihidupkan kembali. Perspektif ini yang sering diulang-ulang.
Oleh sebab itu pada akhir Maret 2016 lalu, santer disebut pengumuman susunan kabinet baru segera dilakukan, walau tanpa Pak JK.
Tapi akhirnya penundaan pengumuman tak terhindarkan. Karena ternyata Presiden tak ingin menyinggung perasaan Wapres Jusuf Kalla yang tengah berada di luar negeri.
Wapres JK dijadwalkan tiba di tanah air antara tanggal 4 – 6 April 2016, setelah melakukan perjalanan kerja ke Amerika Serikat. Menurut rencana setelah Wapres tiba, barulah reshuffle itu diumumkan.
Tapi setelah Wapres berada di dalam negeri, pengumuman perombakan kabinet tidak juga terjadi. Setelah senyap beberapa saat, kemudian disebutkan, reshuffle akan dilakukan seusai Partai Golkar melakukan Munas Luar Biasa. Namun Munaslub Golkar sudah usai pada pertengahan Mei, reshuffle juga tidak terjadi.
Muncul kabar baru, perombakan akan dilakukan sebelum puasa. Nyatanya puasa sudah berjalan beberapa hari, tak ada lagi kabar kelanjutan atas perombakan kabinet tersebut.
Bahkan dari bahasa tubuh Presiden Joko Widodo, tidak menyiratkan sama sekali bahwa bekas Walikota Solo itu masih ingat akan janji dan ucapannya.
Dengan kejadian ini, sadar atau tidak, Presiden telah membuat negara dan rakyat dalam waktu dua bulan, seperti disuruh menunggu. Gara-gara menunggu, banyak rencana dan pekerjaan, termasuk pengambilan keputusan, ditunda.
Dalam kurun waktu tak kurang dari dua bulan, masyarakat dibuat Presiden Joko Widodo seperti menunggu sebuah janji, janji mana tak pernah dipenuhi.
Dalam dua bulan itu, Presiden bahkan masih sempat melakukan tiga perjalanan ke luar negeri, secara terpisah.
Pertama ke Eropa Barat dengan mengunjungi Jerman, Inggeris dan Belanda. Setelah kembali ke tanah air, beberapa hari kemudian Presiden berangkat lagi ke Rusia, Eropa Timur. Di negara pecahan bekas Uni Sovyet itu, Presiden menghadiri Peringatan 20 Tahun Hubungan ASEAN – Rusia.
Tak lama setelah kembali dari Sochi, Rusia, Presiden berangkat lagi ke Jepang. Di negeri Sakura tersebut Presiden memenuhi undangan tuan rumah menjadi pembicara utama dalam KTT G-7.
Kini Presiden sudah berada di dalam negeri. Sudah melewati satu week end di Istana Bogor, kediaman resmi satu tahun terakhir ini.
Tiga perjalanan Presiden Joko Widodo ke luar negeri ini disinggung dan dikaitkan dengan reshuffle, karena soal tradisi atau kebiasaan saja.
Seorang Presiden jika masih bisa berlanglang buana ke berbagai negara, itu sebuah pertanda bahwa kondisi pemerintahannya dan situasi politik dalam negeri, berada dalam situasi yang terkendali. Pemerintah atau Presiden, sedang tidak menghadapi masalah.
Oleh sebab itu dengan tidak adanya reshuffle, sekalipun Presiden sempat menegaskan perlunya hal itu, pada akhirnya menimbulkan berbagai pertanyaan atau spekulasi.
Benarkah pemerintahan Presiden Joko Widodo sedang menghadapi masalah atau tidak ?
Benarkah Presiden berniat merombak kabinet atau sekedar memberi respons sekaligus melakukan “test the water” ?
Muncullah spekulasi, jangan-jangan Presiden sedang mau melihat bagaimana isi sebuah telaga ketika dilempari batu. Apakah akan berlarian ikan-ikan peliharaan di dalamnya atau justru ada buaya kecil yang bergeliat setelah terkena lemparan batu ?
Pada intinya, Presiden hanya ingin melihat bagaimana reaksi masyarakat. Dan sederet pertanyaan lainnya.
Di sisi lain, setelah dua bulan lebih rakyat dibuat menunggu kemudian bingung oleh sikap Presiden, muncul pertanyaan baru.
Apakah Presiden Joko Widodo tengah menghadapi tekanan yang sangat berat ? Dan dalam menghadapi tekanan itu, tidak ada cara lain yang bisa dilakukannya, kecuali bersikap statis, pasif dan pura-pura tidak ada masalah.
Sebab kalau reshuffle itu tetap dilakukan tetapi tekanan tak bisa dihentikannya, lantas untuk apa dilakukan perombakan kabinet?
Yah, beginilah keadaan Indonesia pada saat ini. Situasi dari sebuah negara yang kita cintai dengan segala pernak pernik dan suka dukanya.
Inilah Indonesia yang dipimpin oleh Presiden dan Kepala Negara yang keberadaannya dipilih rakyat melalui Pemilu langsung.
Rakyat yang memilih Pak Jokowi pada Juli 2014, pasti tidak mengira kalau Indonesia di tahun 2016, masih belum bisa “move on”.
Maksudnya sudah mau dua tahun, belum dapat menjalankan Nawacita, belum dapat melakukan Revolusi Mental apalagi langsung Kerja, Kerja, Kerja………
Lantas tiga tahun lagi dari sekarang – tepatnya 2019, Indonesia menjadi seperti apa atau sudah seperti apa ?
Oleh Derek Manangka, Jurnalis Senior